Sabtu, 31 Desember 2016

Jika UN dihapuskan 2


Jika UN dihapuskan, lalu apa penggantinya?, sesuatu yang juga dapat dipandang sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan yang relevan tentunya. Tetapi apa itu?. Sebelumnya kita telah mengetahui bagaimana fungsi UN sesungguhnya, yaitu sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan siswa, sekolah dan negara. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika tujuan akhir siswa adalah UN, maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi siswa seperti belajar selama 3 atau 9 tahun hanya dibayar dengan satu kali melaksanakan UN, bagaimana jika seseorang yang pintar tiba-tiba sakit selama mengikuti UN sehingga hasil UN tidak maksimal atau mengecewakan?, sebenarnya masih banyak contoh yang lain dan mungkin anda (para siswa) bisa mengerti tentang keadaan ini. Selain itu siswa juga terbebani karena harus “dicekokki” oleh pelajaran sebanyak itu. Jadi, kesannya kita bersekolah hanya untuk mengejar ijazah. Sekolah pun berlomba-lomba untuk meluluskan anak didiknya seratus persen dengan berbagai cara. Hasilnyanya, pendidikan pun gagal dalam berpartisipasi dalam revolusi mental bangsa ini. Sekali lagi ini hanya pandangan atau pendapat dari kacamata saya saja tentang pendidikan. Pendapat saya, jika UN dihapuskan mungkin pengganti yang bisa diterapkan adalah dengan menuntut prestasi nyata dari sekolah-sekolah di Indonesia. Mungkin bisa dengan menetapkan Kriteria Prestasi Minimal sebagai tolak ukur keberhasilan sekolah. Sehingga seluruh sekolah akan berlomba-lomba menghasilkan prestasi sebanyak mungkin, bukan berlomba-lomba untuk meluluskan siswanya sebanyak mungkin dengan mengkatrol nilai. Karena percuma saja jika lulus dengan otak kosong atau tidak mengalami transformasi. Dengan sistem seperti ini, siswa pun akan saling berkompetisi dalam berprestasi, selain itu siswa juga akan dilatih kreativitasnya, daya ciptanya, dan jiwa-jiwa penelitinya. Karena yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini adalah KREATIVITAS, kreativitas anak bangsa agar dapat menciptakan sesuatu dan bukan hanya menerima, memakai sesuatu yang dibuat oleh negara lain dan agar negara kita lebih maju serta tidak lagi menjadi “pengekor”.

Keyakinan atau Ketuhanan Dalam Pendidikan Barat


Pendidikan di Indonesia tentulah banyak memuat pendidikan akan keyakinan, hal tersebut dikarenakan pijakan dari praktik pendidikan kita adalah Pancasila dan kita tahu bahwa sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya Tuhan di nomor satu kan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia termasuk pendidikan.
            Lain halnya dengan pendidikan di Barat, fakta yang ada disana adalah bahwa pendidikan jarang sekali menyisipkan pendidikan tentang keyakinan di sekolah-sekolah formalnya. Tetapi menurut saya ini tidak aneh, karena sejak dulu memang aliran-aliran filsafat dan pemikiran pendidikan banyak lahir dari sana. Dalam pendidikan barat, banyak tokoh filsafat pendidikan yang melahirkan paham-paham yang dapat mempengaruhi masyarakatnya serta praktik pendidikan disana. Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan barat dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam pemikiran yang bercirikan materialisme, idealisme, sekularisme, rasionalisme, humanistik, dan sebagainya. Seperti yang kita semua ketahui bahwa kebanyakan dari pandangan atau aliran-aliran tersebut lebih berpusat pada manusia yang menurutnya merupakan segalanya dan menyampingkan adanya Tuhan. Bahkan dalam materialisme dinyatakan bahwa manusia itu berevolusi dari benda mati dan manusia tidak membutuhkan Tuhan. Sungguh pandangan yang sangat jauh dari pemikiran agama mana pun menurut saya, apalagi dari segi islam.

Transformasi Pendidikan Ala Freire


Transformasi adalah perubahan. Transformasi banyak menjadi fokus para pedagog. Banyak orang mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Perubahan yang demikian ini bukan perubahan yang dimaksud Freire. Perubahan yang demikian bisa jadi perubahan dalam konteks egoisme dan individualisme, misalnya, agar menjadi individu yang bebas di tengah pasar bebas, individu dengan gaji besar di perusahaan internasional. Freire tidak mengajarkan cita-cita seperti ini, karena individu yang seperti ini bisa jadi hanya mengususng pasar bebas yang mengabadikan ketidakadilan dunia, yaitu penindasan.
            Perubahan yang demikian tersebut, bisa jadi kerangka etikanya adalah persaingan bebas, yang kuat yang menang, yang kalah ialah pemalas dan bodoh. Kerangka etika Freire adalah humanisasi, pembebasan manusia. Humanisasi tidak terjadi ketika terjadi penindasan atau dehumanisasi. Karena itu perubahan diri individu secara pedagogis harus dalam konteks perubahan sosial.
            Freiere mengatakan bahwa transformasi bukanlah perubahan metode atau teknik. Transformasi tidak dicapai dengan sekedar mengganti metode dan teknik di sekolah. Transformasi bermula dari sebuah kritik sosial. Dengan mengkritik sekolah-sekolah tradisional, kita mengkritik sistem kapitalis yang membangun sekolah-sekolah. Transformasi harus berdampak melampaui dinding-dinding sekolah yang menyekat ruang gerak, menjadi transformasi masyarakat yang meluas, membumi.

Kepercayaan Antara Guru dengan Murid


Menurut Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi, hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi, ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi. Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang, komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.

Kreativitas


Para pembuat teori setuju bahwa hal-hal baru adalah komponen yang sangat penting dari kreativitas. Namun hal-hal baru saja ternyata belum cukup. Jawaban yang kita cari harus memungkinkan kita juga mencapai tujuan kita, selain itu juga harus praktis dan bermanfaat. Misalkan saya meminta anda untuk membuat jawaban kreatif dari pertanyaan ini “bagaimana cara anda memanggang ayam?” dan kemudian jawabannya adalah dengan meletakkan ayam itu di dalam sebuah rumah lalu membakar rumah itu. Maka jawaban ini memberikan kriteria akan hal-hal atau ide baru, namun tidak memenuhi syarat kebergunaan. Bagi para pembuat teori  kemudian mengatakan bahwa kreativitas melibatkan penemuan suatu solusi yang harus tidak biasa dan bermanfaat.
            Definisi kreativitas tidak menetapkan kecerdasan atau inteligen. Kedua kata tersebut memang dua konsep yang berkaitan, namun tidak identik. Jika kita melihat pada banyak sampel mannusia, kecerdasan atau inteligen sedikit banyak berkaitan dengan kreativitas. Menurut Hayes, seseorang paling tidak harus memiliki kecerdasan rata-rata untuk memperoleh pekerjaan yang menangani proyek kreatif. Namun jika anda menguji para profesional dalam satu pekerjaan tertentu (yang memerlukan inteligen minimum), orang yang paling kreatif dan orang yang paling kurang kreatif memiliki IQ yang hampir sama. Inteligen memang penting, tapi tidak cukup untuk menghasilkan kretivitas.

Sekolah Sebagai Pelestari Budaya Bangsa


Sekolah selain mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragamm juga harus melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekrti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah, dan sebagainya.
            Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi, yaitu  pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah. Kedua, sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beraneka ragam demi kepentingan nasional. Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu. Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu menjadi manusia yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.

Kepercayaan Antara Guru dengan Murid


Menurut Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi, hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi, ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi. Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang, komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.