Jika
UN dihapuskan, lalu apa penggantinya?, sesuatu yang juga dapat dipandang
sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan yang relevan tentunya. Tetapi apa
itu?. Sebelumnya kita telah mengetahui bagaimana fungsi UN sesungguhnya, yaitu
sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan siswa, sekolah dan negara. Namun yang
menjadi permasalahan adalah jika tujuan akhir siswa adalah UN, maka akan
menimbulkan ketidakadilan bagi siswa seperti belajar selama 3 atau 9 tahun
hanya dibayar dengan satu kali melaksanakan UN, bagaimana jika seseorang yang
pintar tiba-tiba sakit selama mengikuti UN sehingga hasil UN tidak maksimal
atau mengecewakan?, sebenarnya masih banyak contoh yang lain dan mungkin anda
(para siswa) bisa mengerti tentang keadaan ini. Selain itu siswa juga terbebani
karena harus “dicekokki” oleh pelajaran sebanyak itu. Jadi, kesannya kita bersekolah
hanya untuk mengejar ijazah. Sekolah pun berlomba-lomba untuk meluluskan anak
didiknya seratus persen dengan berbagai cara. Hasilnyanya, pendidikan pun gagal
dalam berpartisipasi dalam revolusi mental bangsa ini. Sekali lagi ini hanya
pandangan atau pendapat dari kacamata saya saja tentang pendidikan. Pendapat saya,
jika UN dihapuskan mungkin pengganti yang bisa diterapkan adalah dengan
menuntut prestasi nyata dari sekolah-sekolah di Indonesia. Mungkin bisa dengan
menetapkan Kriteria Prestasi Minimal sebagai tolak ukur keberhasilan sekolah. Sehingga
seluruh sekolah akan berlomba-lomba menghasilkan prestasi sebanyak mungkin,
bukan berlomba-lomba untuk meluluskan siswanya sebanyak mungkin dengan
mengkatrol nilai. Karena percuma saja jika lulus dengan otak kosong atau tidak
mengalami transformasi. Dengan sistem seperti ini, siswa pun akan saling berkompetisi
dalam berprestasi, selain itu siswa juga akan dilatih kreativitasnya, daya
ciptanya, dan jiwa-jiwa penelitinya. Karena yang dibutuhkan oleh Indonesia saat
ini adalah KREATIVITAS, kreativitas anak bangsa agar dapat menciptakan sesuatu
dan bukan hanya menerima, memakai sesuatu yang dibuat oleh negara lain dan agar
negara kita lebih maju serta tidak lagi menjadi “pengekor”.
Confused
Sabtu, 31 Desember 2016
Keyakinan atau Ketuhanan Dalam Pendidikan Barat
Pendidikan
di Indonesia tentulah banyak memuat pendidikan akan keyakinan, hal tersebut
dikarenakan pijakan dari praktik pendidikan kita adalah Pancasila dan kita tahu
bahwa sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya Tuhan di nomor
satu kan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia termasuk pendidikan.
Lain halnya dengan pendidikan di
Barat, fakta yang ada disana adalah bahwa pendidikan jarang sekali menyisipkan
pendidikan tentang keyakinan di sekolah-sekolah formalnya. Tetapi menurut saya
ini tidak aneh, karena sejak dulu memang aliran-aliran filsafat dan pemikiran
pendidikan banyak lahir dari sana. Dalam pendidikan barat, banyak tokoh
filsafat pendidikan yang melahirkan paham-paham yang dapat mempengaruhi
masyarakatnya serta praktik pendidikan disana. Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan
barat dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam
pemikiran yang bercirikan materialisme, idealisme, sekularisme, rasionalisme,
humanistik, dan sebagainya. Seperti yang kita semua ketahui bahwa kebanyakan
dari pandangan atau aliran-aliran tersebut lebih berpusat pada manusia yang
menurutnya merupakan segalanya dan menyampingkan adanya Tuhan. Bahkan dalam
materialisme dinyatakan bahwa manusia itu berevolusi dari benda mati dan
manusia tidak membutuhkan Tuhan. Sungguh pandangan yang sangat jauh dari
pemikiran agama mana pun menurut saya, apalagi dari segi islam.
Transformasi Pendidikan Ala Freire
Transformasi
adalah perubahan. Transformasi banyak menjadi fokus para pedagog. Banyak orang
mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya perubahan dari yang tidak tahu menjadi
tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Perubahan yang demikian ini bukan
perubahan yang dimaksud Freire. Perubahan yang demikian bisa jadi perubahan
dalam konteks egoisme dan individualisme, misalnya, agar menjadi individu yang
bebas di tengah pasar bebas, individu dengan gaji besar di perusahaan
internasional. Freire tidak mengajarkan cita-cita seperti ini, karena individu
yang seperti ini bisa jadi hanya mengususng pasar bebas yang mengabadikan
ketidakadilan dunia, yaitu penindasan.
Perubahan yang demikian tersebut,
bisa jadi kerangka etikanya adalah persaingan bebas, yang kuat yang menang,
yang kalah ialah pemalas dan bodoh. Kerangka etika Freire adalah humanisasi,
pembebasan manusia. Humanisasi tidak terjadi ketika terjadi penindasan atau dehumanisasi.
Karena itu perubahan diri individu secara pedagogis harus dalam konteks
perubahan sosial.
Freiere mengatakan bahwa
transformasi bukanlah perubahan metode atau teknik. Transformasi tidak dicapai
dengan sekedar mengganti metode dan teknik di sekolah. Transformasi bermula
dari sebuah kritik sosial. Dengan mengkritik sekolah-sekolah tradisional, kita
mengkritik sistem kapitalis yang membangun sekolah-sekolah. Transformasi harus
berdampak melampaui dinding-dinding sekolah yang menyekat ruang gerak, menjadi
transformasi masyarakat yang meluas, membumi.
Kepercayaan Antara Guru dengan Murid
Menurut
Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan
hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang
ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi,
hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi,
ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan
antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi.
Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan
pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia
membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang,
komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada
potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap
demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya
padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain
merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.
Kreativitas
Para
pembuat teori setuju bahwa hal-hal baru adalah komponen yang sangat penting
dari kreativitas. Namun hal-hal baru saja ternyata belum cukup. Jawaban yang
kita cari harus memungkinkan kita juga mencapai tujuan kita, selain itu juga
harus praktis dan bermanfaat. Misalkan saya meminta anda untuk membuat jawaban
kreatif dari pertanyaan ini “bagaimana cara anda memanggang ayam?” dan kemudian
jawabannya adalah dengan meletakkan ayam itu di dalam sebuah rumah lalu
membakar rumah itu. Maka jawaban ini memberikan kriteria akan hal-hal atau ide
baru, namun tidak memenuhi syarat kebergunaan. Bagi para pembuat teori kemudian mengatakan bahwa kreativitas melibatkan
penemuan suatu solusi yang harus tidak biasa dan bermanfaat.
Definisi kreativitas tidak
menetapkan kecerdasan atau inteligen. Kedua kata tersebut memang dua konsep
yang berkaitan, namun tidak identik. Jika kita melihat pada banyak sampel
mannusia, kecerdasan atau inteligen sedikit banyak berkaitan dengan
kreativitas. Menurut Hayes, seseorang paling tidak harus memiliki kecerdasan
rata-rata untuk memperoleh pekerjaan yang menangani proyek kreatif. Namun jika
anda menguji para profesional dalam satu pekerjaan tertentu (yang memerlukan
inteligen minimum), orang yang paling kreatif dan orang yang paling kurang
kreatif memiliki IQ yang hampir sama. Inteligen memang penting, tapi tidak
cukup untuk menghasilkan kretivitas.
Sekolah Sebagai Pelestari Budaya Bangsa
Sekolah
selain mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka
ragamm juga harus melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak
dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekrti dan suatu
upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah, dan
sebagainya.
Fungsi sekolah berkaitan dengan
konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi, yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu
lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari
suatu masyarakat pada suatu daerah. Kedua, sekolah mempunyai tugas untuk
mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang
ada yang beraneka ragam demi kepentingan nasional. Untuk memenuhi dua tuntutan
itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan
kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu. Oleh
karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu
menjadi manusia yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.
Kepercayaan Antara Guru dengan Murid
Menurut
Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan
hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang
ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi,
hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi,
ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan
antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi.
Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan
pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia
membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang,
komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada
potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap
demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya
padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain
merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.
Langganan:
Postingan (Atom)