Jika
UN dihapuskan, lalu apa penggantinya?, sesuatu yang juga dapat dipandang
sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan yang relevan tentunya. Tetapi apa
itu?. Sebelumnya kita telah mengetahui bagaimana fungsi UN sesungguhnya, yaitu
sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan siswa, sekolah dan negara. Namun yang
menjadi permasalahan adalah jika tujuan akhir siswa adalah UN, maka akan
menimbulkan ketidakadilan bagi siswa seperti belajar selama 3 atau 9 tahun
hanya dibayar dengan satu kali melaksanakan UN, bagaimana jika seseorang yang
pintar tiba-tiba sakit selama mengikuti UN sehingga hasil UN tidak maksimal
atau mengecewakan?, sebenarnya masih banyak contoh yang lain dan mungkin anda
(para siswa) bisa mengerti tentang keadaan ini. Selain itu siswa juga terbebani
karena harus “dicekokki” oleh pelajaran sebanyak itu. Jadi, kesannya kita bersekolah
hanya untuk mengejar ijazah. Sekolah pun berlomba-lomba untuk meluluskan anak
didiknya seratus persen dengan berbagai cara. Hasilnyanya, pendidikan pun gagal
dalam berpartisipasi dalam revolusi mental bangsa ini. Sekali lagi ini hanya
pandangan atau pendapat dari kacamata saya saja tentang pendidikan. Pendapat saya,
jika UN dihapuskan mungkin pengganti yang bisa diterapkan adalah dengan
menuntut prestasi nyata dari sekolah-sekolah di Indonesia. Mungkin bisa dengan
menetapkan Kriteria Prestasi Minimal sebagai tolak ukur keberhasilan sekolah. Sehingga
seluruh sekolah akan berlomba-lomba menghasilkan prestasi sebanyak mungkin,
bukan berlomba-lomba untuk meluluskan siswanya sebanyak mungkin dengan
mengkatrol nilai. Karena percuma saja jika lulus dengan otak kosong atau tidak
mengalami transformasi. Dengan sistem seperti ini, siswa pun akan saling berkompetisi
dalam berprestasi, selain itu siswa juga akan dilatih kreativitasnya, daya
ciptanya, dan jiwa-jiwa penelitinya. Karena yang dibutuhkan oleh Indonesia saat
ini adalah KREATIVITAS, kreativitas anak bangsa agar dapat menciptakan sesuatu
dan bukan hanya menerima, memakai sesuatu yang dibuat oleh negara lain dan agar
negara kita lebih maju serta tidak lagi menjadi “pengekor”.
Sabtu, 31 Desember 2016
Keyakinan atau Ketuhanan Dalam Pendidikan Barat
Pendidikan
di Indonesia tentulah banyak memuat pendidikan akan keyakinan, hal tersebut
dikarenakan pijakan dari praktik pendidikan kita adalah Pancasila dan kita tahu
bahwa sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya Tuhan di nomor
satu kan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia termasuk pendidikan.
Lain halnya dengan pendidikan di
Barat, fakta yang ada disana adalah bahwa pendidikan jarang sekali menyisipkan
pendidikan tentang keyakinan di sekolah-sekolah formalnya. Tetapi menurut saya
ini tidak aneh, karena sejak dulu memang aliran-aliran filsafat dan pemikiran
pendidikan banyak lahir dari sana. Dalam pendidikan barat, banyak tokoh
filsafat pendidikan yang melahirkan paham-paham yang dapat mempengaruhi
masyarakatnya serta praktik pendidikan disana. Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan
barat dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam
pemikiran yang bercirikan materialisme, idealisme, sekularisme, rasionalisme,
humanistik, dan sebagainya. Seperti yang kita semua ketahui bahwa kebanyakan
dari pandangan atau aliran-aliran tersebut lebih berpusat pada manusia yang
menurutnya merupakan segalanya dan menyampingkan adanya Tuhan. Bahkan dalam
materialisme dinyatakan bahwa manusia itu berevolusi dari benda mati dan
manusia tidak membutuhkan Tuhan. Sungguh pandangan yang sangat jauh dari
pemikiran agama mana pun menurut saya, apalagi dari segi islam.
Transformasi Pendidikan Ala Freire
Transformasi
adalah perubahan. Transformasi banyak menjadi fokus para pedagog. Banyak orang
mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya perubahan dari yang tidak tahu menjadi
tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Perubahan yang demikian ini bukan
perubahan yang dimaksud Freire. Perubahan yang demikian bisa jadi perubahan
dalam konteks egoisme dan individualisme, misalnya, agar menjadi individu yang
bebas di tengah pasar bebas, individu dengan gaji besar di perusahaan
internasional. Freire tidak mengajarkan cita-cita seperti ini, karena individu
yang seperti ini bisa jadi hanya mengususng pasar bebas yang mengabadikan
ketidakadilan dunia, yaitu penindasan.
Perubahan yang demikian tersebut,
bisa jadi kerangka etikanya adalah persaingan bebas, yang kuat yang menang,
yang kalah ialah pemalas dan bodoh. Kerangka etika Freire adalah humanisasi,
pembebasan manusia. Humanisasi tidak terjadi ketika terjadi penindasan atau dehumanisasi.
Karena itu perubahan diri individu secara pedagogis harus dalam konteks
perubahan sosial.
Freiere mengatakan bahwa
transformasi bukanlah perubahan metode atau teknik. Transformasi tidak dicapai
dengan sekedar mengganti metode dan teknik di sekolah. Transformasi bermula
dari sebuah kritik sosial. Dengan mengkritik sekolah-sekolah tradisional, kita
mengkritik sistem kapitalis yang membangun sekolah-sekolah. Transformasi harus
berdampak melampaui dinding-dinding sekolah yang menyekat ruang gerak, menjadi
transformasi masyarakat yang meluas, membumi.
Kepercayaan Antara Guru dengan Murid
Menurut
Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan
hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang
ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi,
hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi,
ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan
antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi.
Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan
pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia
membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang,
komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada
potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap
demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya
padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain
merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.
Kreativitas
Para
pembuat teori setuju bahwa hal-hal baru adalah komponen yang sangat penting
dari kreativitas. Namun hal-hal baru saja ternyata belum cukup. Jawaban yang
kita cari harus memungkinkan kita juga mencapai tujuan kita, selain itu juga
harus praktis dan bermanfaat. Misalkan saya meminta anda untuk membuat jawaban
kreatif dari pertanyaan ini “bagaimana cara anda memanggang ayam?” dan kemudian
jawabannya adalah dengan meletakkan ayam itu di dalam sebuah rumah lalu
membakar rumah itu. Maka jawaban ini memberikan kriteria akan hal-hal atau ide
baru, namun tidak memenuhi syarat kebergunaan. Bagi para pembuat teori kemudian mengatakan bahwa kreativitas melibatkan
penemuan suatu solusi yang harus tidak biasa dan bermanfaat.
Definisi kreativitas tidak
menetapkan kecerdasan atau inteligen. Kedua kata tersebut memang dua konsep
yang berkaitan, namun tidak identik. Jika kita melihat pada banyak sampel
mannusia, kecerdasan atau inteligen sedikit banyak berkaitan dengan
kreativitas. Menurut Hayes, seseorang paling tidak harus memiliki kecerdasan
rata-rata untuk memperoleh pekerjaan yang menangani proyek kreatif. Namun jika
anda menguji para profesional dalam satu pekerjaan tertentu (yang memerlukan
inteligen minimum), orang yang paling kreatif dan orang yang paling kurang
kreatif memiliki IQ yang hampir sama. Inteligen memang penting, tapi tidak
cukup untuk menghasilkan kretivitas.
Sekolah Sebagai Pelestari Budaya Bangsa
Sekolah
selain mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka
ragamm juga harus melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak
dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekrti dan suatu
upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah, dan
sebagainya.
Fungsi sekolah berkaitan dengan
konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi, yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu
lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari
suatu masyarakat pada suatu daerah. Kedua, sekolah mempunyai tugas untuk
mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang
ada yang beraneka ragam demi kepentingan nasional. Untuk memenuhi dua tuntutan
itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan
kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu. Oleh
karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu
menjadi manusia yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.
Kepercayaan Antara Guru dengan Murid
Menurut
Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan
hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang
ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi,
hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi,
ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan
antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi.
Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan
pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia
membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang,
komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada
potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap
demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya
padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain
merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.
Menciptakan Masyarakat Belajar
Pendidikan
adalah untuk semua orang yang mampu mengikutinya. Karena pendidikan itu untuk
semua orang, maka pendidikan adalah untuk masyarakat. Pendidikan bukan menekan
pada aspek mengajar, tetapi pendidikan lebih menekankan pada aspek belajar yang tidak mengabaikan aspek mengajar karena
pendidikan itu merupakan proses belajar-mengajar. Sekolah tidak hanya
menyiapkan anak untuk hidup nanti, tetapi sekolah hendaknya menyiapkan anak
untuk belajar sepanjang hidupnya. Seperti prinsip dari Ki Hajar Dewantara yang
menyatakan bahwa belajar itu sepanjang hayat. Anak harus dipandang sebagai
subjek yang selalu ingin tahu. Oleh karena itu sekolah harus membuat anak supaya
tertarik dan ingin belajar terus menerus tanpa pandang tempat, waktu serta umur
dan membiasakan diri belajar dengan menggunakan sumber-sumber belajar yang ada
baik dalam sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini juga berlaku bagi seluruh
masyarakat indonesia.
Humanisasi
Aliran
Humanisasi lahir di Itali dengan pelopor utamanya Petrarca dan Boccaeclo. Ciri-ciri
yang tampak pada aliran ini adalah ingin mengubah suasana abad pertengahan dan
mengarahkan hidup kepada hal-hal yang bersifat kefanaan, sebagai lawan
kebakaan. Maksudnya, Tuhan (baka) sebagai pusat norma tertinggi harus
ditinggalkan. Jadi, cita-cita dan segala sesuatu yang diinginkan dan diangankan
oleh manusia dicari pada manusia itu sendiri. Masalah kebenaran, kesusilaan,
keindahan bersumber pada manusia itu pula.
Tujuan pendidikan menurut Humanisme
adalah membentuk manusia yang berani, bebas dan gembira. Manusia berani berarti
manusia yang percaya kepada diri sendiri, bukan taat kepada kekuasaan Tuhan
seperti pada saat jaman pertengahan. Menurut saya yang disebut Tuhan disini
adalah para penguasa karena pada saat itu penguasa dianggap sebagai Tuhan. Manusia
bebas artinya lepas dari ikatan dan tradisi, berkembang selaras,
individualistis, bukan manusia kolektifistis dan terikat. Manusia gembira
menunjukkan dirinya pada kenikmatan duniawi (fana), bukan keakhiratan (baka)
seperti abad pertengahan.
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Mutu
pendidikan akan meningkat apabila proses belajar mengajar berjalan secara
optimal. Agar proses belajar mengajar dapat berjalan optimal maka perlu
diperhatikan lima faktor.
Pertama, Tujuan Pendidikan, baik
tujuan institusional, tujuan kurikuler, maupun tujuan pengajaran hendaknya
dirumuskan secara jelas dan tepat sesuai dengan tujuan akhir dan kompetensi
yang akan dicapai.
Kedua, materi pelajaran yang berwujud
pengetahuan hendaknya sesuaiai dengan kebutuhan dalam rangka mencapai tujuan
dan kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Isi materi pelajaran hendaknya
dibuat sedemikian rupa supaya siswa menemukan sesuatu. Organisasi materi
hendaknya memberi kesempatan pada siswa untuk menganalisis, membuat kesimpulan,
mengerjakan sesuatu hingga pengetahuan
benar-benar dipahami
Ketiga, metode penyampaian materi
pelajaran yang digunakan hendaknya lebih dari satu macam dan disesuaikan dengan
tujuan pengajaran, materi pengajaran, suasana kelas, jumlah siswa serta waktu
dan tempat. Penggunaan metode yang bervariasi dapat memungkinkan siswa untuk
berdiskusi, berlatih, berfikir ilmiah dan dapat menemukan sesuatu sendiri,
belajar bekerja sama, dan lainnya.
Keempat, perlu diperhatikan
kemampuan yang telah dimiliki anak (entering behavior). Pemilihan materi
pelajaran, pemilihan metode pengajaran
hendaknya disesuaikan dengan pengetahuan yang dimiliki anak, umur,
kemampuan dan latar belakang sosial anak.
Kelima, adanya fasilitas dan
perlengkapan yang memadai sehingga dapat mendukung terjadinya proses belajar
mengajar yang optimal. Ruangan kelas yang fleksibel, sehingga dapat diatur
untuk belajar klasikal, kelompok maupun perseorangan. Selain itu perlu ada
buku-buku dan media pendidikan yang memadai.
Masa Remaja
Menurut
Agustiani (2009), Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa
anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan,
baik fisik maupun psikis. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan
mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja
mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan
peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa (Clarke-Stewart & Friedman,
1987; Ingersoll, 1989; Agustiani, 2009).
Menurut Agustiani (2009), selain
perubahan yang terjadi dalam diri remaja, terdapat pula perubahan dalam
lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota keluarga lain, guru, teman
sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Remaja dituntut untuk mampu menampilkan
tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai bagi orang-orang sekitarnya.
Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar dirinya itu membuat kebutuhan remaja semakin meningkat terutama
kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya.
1.
Perkembangan
masa Remaja
Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
sebagai berikut: (Konopka, 1973 dalam Pikunas: Ingersoll, 1989; Agustiani,
2009)
a. Masa
Remaja Awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu
mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri
sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari
tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya
konformitas yang kuat dengan teman sebaya.
b. Masa
Remaja Pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai
dengan kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang
penting, namun individu sudah mampu mengarahkan
diri sendiri (self-directed).
Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar
mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan
dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai.
c. Masa
Remaja Akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh
persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama perode ini
remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan self of personal identity. Keinginan
yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan
orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.
Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Perkembangan Konsep Diri
Pudjijogyanti (1993,
dalam Prawoto, 2010) mengemukakan ada beberapa peranan atau faktor yang
mempengaruhi perkembangan konsep diri, antara lain:
a. Peranan
Citra Fisik
Tanggapan dari individu lain mengenai keadaan fisisk
individu yang ia lihat akan didasari oleh adanya dimensi tubuh ideal. Pada umumnyabentuk tubuh ideal laki-laki adalah
atletis, berotot, dan kekar, sedangkan bentuk tubuh ideal wanita adalah halus,
lemah, dan kecil. Dengan adanya dimensi tubuh ideal, maka setiap individu
berusaha mencapai patokan ideal tersebut. Setiap individu menganggap bahwa ia
akan mendapat tanggapan yang positif dari individu lain apabila ia berhasil
mencapai patokan tubuh ideal.
b. Peranan
Jenis Kelamin
Adanya perbedaan biologis antara laki-laki dengan
perempuan menentukan pula peran masing-masing jenis kelamin.Wilson (1976, dalam
Pudjijogyanti, 1993; Prawoto, 2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
laki-laki mempunyai sumber konsep diri yang berbeda dengan wanita. Konsep diri
laki-laki bersumber pada keberhasilan pekerjaan, persaingan dan kekuasaan.
Sedangkan, konsep diri wanita bersumber padda keberhasilan tujuan pribadi,
citra fisik, dan keberhasilan dalam hubungan keluarga.
c. Peranan
Perilaku Orang Tua
Menurut Prawoto (2010), lingkungan pertama yang
menanggapi perilaku individu adalah lingkungan keluarga, maka dapat dikatakan
bahwa keluarga merupakan ajang pertama dalam pembentukkan konsep diri anak.
Cara orang tua memenuhi kebutuhan fisik anak dan kebutuhan psikologis anak
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap seluruh perkembangan
kepribadian anak. Pengalaman anak dalam berinteraksi dengan seluruh anggota
keluarga merupakan penentu pula dalam berinteraksi dengan orang lain di
kemudian hari. Jadi bagaimana sikap individu di lingkungan luar banyak
dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya.
d. Peranan
Faktor Sosial
Menurut
Prawoto (2010), Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan
orang-orang disekitarnya. Apa yang dipersepsikan individu lain mengenai diri
individu tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang disandang
individu. Adanya struktur, peran dan status sosial yang menyertai persepsi
individu laiin terhadap diri individu merupakan petunjuk bahwa seluruh perilaku
individu dipengaruhi oleh faktor sosial. Hal ini sejalan dengan dengan teori
yang dikemukakan Kurt Lewin, yaitu perilaku individu merupakan fungsi dari
karakteristik lingkungannya.
Konsep Diri
Konsep
diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena seseorang merupakan
kerangka acuan (frame of reference)
dalam berinteraksi dengan lingkungan (Fitts, 1971 dalam Agustiani, 2009). Ia
menjelasakan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika
individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti
penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan
suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya
sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar
dirinya. Cawagas (1983, dalam Pudjijogyanti,1993; Prawoto, 2010) menjelaskan
bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisik,
karakteristik pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian, kegagalan, dan lain
sebagainya.
Jadi,
konsep diri merupakan keseluruhan pandangan mengenai diri individu.
Secara umum, penilaian tentang
konsep diri dibagi menjasi dua bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep
diri negatif. Salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri positif adalah
mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, sedangkan salah satu ciri
individu yang memiliki konsep diri yang negatif adalah tidak mampu menerima dan
mencintai diri sendiri apa adanya (Rakhmat, 2005 dalam Prawoto, 2010). Selain
itu, konsep diri terbentuk atas dua komponen, yaitu komponen kognitif dan
kommponen afektif. Komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya”
yang akan memberi gambaran tentang dirinya. Komponen afektif merupakan
penilaian individu terhadap diri sendiri. Penilaian tersebut akan membentuk
penerimaan terhadap diri (self-acceptance)
serta harga diri (self-esteem)
individu (Pudjijogyanti, 1993 dalam Prawoto, 2010). Dapat disimpulakan bahwa
komponen kognitif merupakan data yang bersifat objektif. Sedangkan komponen
afektif merupakan data yang bersifat subjektif.
Mengatasi Masalah Emosional Siswa
Siswa
yang terganggu secara emosional dapat mengambil bimbingan konselling dan pendamping
khusus di luar kelas, akan tetapi banyak hal yang dapat dilakukan guru untuk
membantu siswa yang memiliki masalah emosional. Karena banyak masalah emosional
disebabkan oleh stress, guru harus
melindungi siswa dari tekanan-tekanan yang ada di kelas dan menyediakan
aktivitas belajar yang menarik dan memuaskan bagi mereka. Masalah dan tekanan
yang berkaitan dengan sekolah hanya akan meningkatkan gangguan emosional siswa,
mungkin lebih baik mengijinkannya terlambat mengumpulkan tugas rumah atau memulai test hanya ketika siswa tersebut
siap. Jangan memaksa siswa untuk memberikan perhatian dalam belajar matematika
ketika mereka sendiri sedang berusaha mengatasi masalah yang menyebabkan
kesulitan emosionalnya.
Siswa yang
terganggu mungkin membutuhkan seseorang yang bisa diajak berdiskusi tentang
masalahnya. Dalam banyak kasus mereka akan memilih guru faforit mereka, yang
mungkin adalah anda, untuk membantu mengatasi stressnya. Guru bisa membantu
siswa yang terganggu secara emosional dengan menjadi bersahabat, perhatian dan
pengertian dengan mereka. Suatu waktu guru dapat membantu siswa yang terganggu
dengan menjadi teman dan pembimbing untuk mereka. Kelas matematika yang santai,
bersahabat dan kooperatif mungkin dibutuhkan oleh siswa yang terganggu
agar sementara dapat keluar dari masalah
mereka dengan melibatkan dirinya pada
pembelajaran matematika yang menarik.
Menangani Permasalahan Sosial Siswa
Siswa
yang tidak diterima oleh siswa lain dalam strukktur sosialnya di kelas
matematika bisa menjadi pemalu dan tidak responsif di kelas, sementara siswa
yang senang mencari perhatian akan menguasai banyak aktivitas yang mengganggu
lingkungan belajar di kelas. Siswa yang tidak diterima atau diabaikan oleh
siswa lain akan mendapat perhatian khusus dari guru. Guru harus berusaha
melibatkan siswa-siswa tersebut pada diskusi kelas dengan mengajaknya berbicara,
menanyainya beberapa pertanyaan, mendorongnya untuk memberikan tanggapan pada
pernyataan siswa lain, dan mendorong siswa lain untuk menanggapi pernyataannya.
Pastikan untuk selalu memberikan pengakuan terhadap publik atas apa yang telah
dikerjakannya seperti mengerjakan PR dengan baik atau menulis paper ujian
dengan baik. Suatu waktu guru dapat mendorong siswa-siswa yang pemalu secara
sosial untuk menyelesaikan proyek yang dapat menarik perhatian siswa lain seperti
membuat model matematika, menyelesaikan permasalahan logika, mengkonstruksikan
sesuatu secara visual,dll. Banyak diantara siswa pendiam ini yang memiliki
bakat, ketertarikan dan hobi khusus yang mana siswa lain mungkin ingin ikut
terlibat. Guru harus berusaha membuat siswa-siswa ini merasa bahwa mereka juga
memiliki tempat dalam struktur sosial di kelas.
Untuk menjaga siswa yang over-aktif agar tidak mengganggu
pelajaran matematika, mungkin perlu untuk berbicara dengannya secara khusus.
Sewaktu-waktu mungkin guru dapat mengarahkan energi siswa-siswa ini kepada
perhatian konstruktif- melakukan kegiatan seperti tugas matematika khusus sehingga dapat merubahnya menjadi siswa yang
lebih baik.
Mungkin penting untuk mencarikan
bantuan dari bimbingan konselling atau ahli jiwa untuk menangani siswa yang
sangat tidak bisa menyesuaikan diri secara sosial. Siswa yang demikian butuh
pemahaman dan bimbingan, serta tekanan memaksanya untuk menyesuaikan diri hanya
akan memperburuk keadaan sosialnya.
Menanggapi Pengaruh Kebiasaan dalam Belajar
Masalah
yang berkaitan dengan kebiasaan belajar di sekolah jarang disebabkan oleh
kekurangan dari beberapa budaya tertentu; hal tersebut biasanya disebabkan oleh
kegagalan guru untuk memahami dan menilai kebiasaan-kebiasaan dari siswanya.
Guru matematika harus menerima fakta bahwa gaya hidup orang yang berbeda-beda
memiliki cara yang berbeda pula dalam mengekspresikan dirinya, menggunakan gaya
berbicara yang berbeda, sikap yang berbeda, serta memiliki nilai dan tingkah laku
yang berbeda. Guru matematika yang memaksakan nilai kebiasaan mereka pada
siswanya justru akan memberi pengaruh negatif pada tingkah laku siswa dalam
belajar matematika. Guru harus menghormati perbedaan kebiasaan diantara
siswanya dan harus mengesampingkan perbedaan-perbedaan ini dalam mengajar
matematika. Cara terbaik untuk mencegah munculnya masalah belajar akibat
perbedaan budaya dan etnik adalah dengan memperlakukan semua siswa sama rata,
memperlakukan setiap siswa dengan hormat, tulus dan memperhatikan kesejahteraan
mereka.
Guru Harus Memaklumi Ketidakcukupan Mental Siswa
Mungkin
saran terbaik yang bisa diberikan kepada pengajar yang mengajari siswa yang
kekurangan kemampuan mental dalam mempelajari matematika adalah untuk tidak
menyalahkan siswa atas keterbatasan intelektualnya. Pelajar yang lambat dalam
matematika dapat diberi waktu tambahan untuk menyelesaikan tugas, harus
didampingi dalam belajar, dan harus diberikan banyak representasi konkrit dari
matematika yang abstrak. Tugas mandiri, aktivitas kelas, pretest dan postest
juga diperlukan untuk membantu siswa tersebut setidaknya menguasai beberapa
keahlian matematika.
Bimbingan konselling, ahli jiwa
sekolah dapat membantu mengidentifikasi dan mengukur kemampuan mental secara
spesifik. Setelah guru mengidentifikasi masalah intelektual yang dimiliki
siswanya, ada dua pendekatan umum untuk menangani situasi ini. Guru dapat
membantu siwa untuk meningkatkan kemampuannya yang kurang atau guru dapat
membuat aktivitas belajar yang khusus untuk memaklumi ketidakmampuan intelektualnya. Dalam banyak
kasus, kombjnasi dari kedua pendekatan tersebut merupakan cara paling efektif
untuk membantu mengatasi kesultan belajar mereka. Latihan dan kegiatan
matematika khusus dapat disiapkan untuk membantu menguatkan kemampuan
intelektualnya secara spesifik sementara kegiatan lain dapat dibuat sedemikian
rupa agar kemampuan mental siswa lebih kuat dalam belajar matematika.
Contohnya, siswa yang memiliki masalah dalam memahami beberapa karakteristik
dari konsep matematika sebaiknya diberi latihan dalam mengidentifikasi dimensi
yang relevan dan tidak relevan dari banyak konsep matematika yang berbeda.
Siswa yang tidak bisa memahami abstraksi matematika dapat mempelajari aturan,
konsep dan keterampilan dasar matematika dengan representasi konkret dari
beberapa objek.
Beberapa orang memiliki cacat mental
yang parah, siswa siswa yang seperti ini mungkin bisa diarahkan untuk program
dan kursus khusus dimana guru yang telah terdidik secara khusus dapat membantu
mereka mempelajari beberapa ketrampilan dasar. Siswa lain yang cukup cerdas
mungkin tidak perlu dan tidak harus menyelesaikan serangkaian bimbingan
matematika sekolah menengah. Penguasaan keterampilan dasar matematika cukup
untuk beberapa siswa yang hanya tidak bahagia, frustasi, dan tidak berhasil
pada level bimbingan matematika yang lebih tinggi.
Betapa Pentingnya Pendidikan
Di
masa sekarang ini, pendidikan tidaklah sesulit jaman dahulu. Pendidikan bisa
dinikmati oleh hampir semua kalangan. Walaupun ada juga beberapa kalangan yang
menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal. Begitu pentingnya
pendidikan bagi semua elemen masyarakat untuk kemajuan bangsa. Dalam tatanan
pemerintahan pun, anggaran biaya untuk pendidikan sangat besar, sesuai dengan
amanat undang-undang. Walaupun dalam pelaksanaanya entah sesuai atau tidak.
Yang jelas, pendidikan merupakan dasar yang kuat bagi suatu bangsa
Sebagaimana
yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya suatu pendidikan :
“Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina
hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia” Dan tentulah dari
pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan
hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
Dalam
Peringatan Taman Siswa ke-30 Tahun, Ki Hadjar Dewantara mengatakan,
“Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu
jangan selalu ‘dipelopori’, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan
tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan
menggunakan pikirannya sendiri.”Maksud dari pernyataan Ki Hadjar Dewantara
tersebut dengan gamblang menunjukkan apa yang seharusnya lahir dari sebuah
proses pendidikan, yaitu “agar anak-anak berpikir sendiri”. Dengan begitu,
mereka menjadi orisinal dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan dianggap
berhasil ketika anak mampu mengenali tantangan apa yang ada di depannya dan
tahu bagaimana seharusnya mereka mengatasinya.
Menjadi
bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap
negara di dunia. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya
suatu negara di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan,
sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau terbelakang,
karena seperti yang kita ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak
Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi
maupun kemampuannya.
Apabila
keluaran dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana
Indonesia dapat mencapai kemajuan. Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik
harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan
lainnya. Maka tentunya peningkatan mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap
perkembangan suatu bangsa. Kita ambil contoh Amerika, mereka tidak akan bisa
menjadi seperti sekarang ini apabila pendidikan mereka setaraf dengan kita.
Lalu bagaimana dengan Jepang? Jepang sangat menghargai pendidikan, mereka rela
mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye
atau hal lain tentang kedudukan seperti yang Indonesia lakukan. Oleh karena
itu, jika Indonesia ingin menjadi suatu negara yang maju, maka pendidikan
haruslah menjadi hal yang utama bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Makna Hari Pendidikan Nasional
Indonesia sudah merdeka sejak 1945,
namun kita masih bisa melihat bahwa Indonesia belum bisa mendapatkan pendidikan
yang layak, kita semua tahu sekolah-sekolah pedalaman, sekolah perbatasan dan
sekolah yang dananya dijadikan bahan korupsi bagi pihak yang tidak bertanggung
jawab. Fakta maraknya tawuran antar pelajar dan demonstrasi
mahasiswa yang didominasi oleh tindak kekerasan, kecurangan saat UN, dan
rendahnya akhlak generasi yang ditunjukkan dengan maraknya seks bebas tidak
bisa kita pungkiri.
Melihat fakta
rusaknya generasi saat ini, tidak salah jika banyak pihak yang mengandalkan
sektor pendidikan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Alasannya adalah karena
pendidikan yang mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi saat ini dan
pendidikan merupakan pilar peradaban tempat lahirnya generasi penerus
bangsa yang cerdas, beradab, berbudaya
dan berkualitas.
Maka dari itu Hari Pendidikan
Nasional adalah momentun bagi seluruh lapisan yang memperhatikan pendidikan
untuk memperjuangkan pendidikan yang layak bagi bangsa indonesia, mari kita
lawan dan berantas korupsi di dunia pendidikan dan di tanah air kita, karena
hal tersebut hanya akan meperbodoh bangsa ini dan bertentangan dengan kemauan
UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hari
Pendidikan Nasional juga seharusnya bisa menjadi momen refleksi bagi Bangsa
Indonesia untuk menemukan cara bagaimana memperbaiki kualitas generasi bangsa
ini. Ditambah lagi, Indonesia memiliki berbagai potensi yang seharusnya mampu
melahirkan generasi cemerlang. Dengan demikian, mampu membuat Indonesia menjadi
sebuah negara yang bisa dipandang dengan terhormat oleh negara lain, yakni
negara maju yang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya.
Hari
Pendidikan Nasional semestinya diperingati tidak hanya sebagai upaya mengenang
seorang Ki Hajar Dewantoro semata dengan mengadakan upacara bendera sebagai
simbol belaka tanpa memahami makna penting pendidikan yang sesungguhnya, tapi
lebih luas lagi kepada seluruh elemen yang mendukung kemajuan suatu bangsa.
Permasalahan Sosial dalam Belajar
Remaja
di sekolah menengah banyak dipengaruhi oleh interaksi sosialnya dengan orang
lain; pencarian mereka untuk diterima kelompoknya, berkali-kali memaksakan diri
dalam belajarnya di sekolah. Siswa yang tidak mendapatkan pengakuan dari siswa
lain dan tidak diterima sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial di sekolah
cenderung menarik diri dari aktifitas kelas karena mereka tidak merasa nyaman
atau pantas untuk berada dalam struktur sosial di sekolah. Beberapa siswa bisa
menjadi disiplin dalam usahanya untuk mendapat perhatian guru dan siswa lain,
sementara yang lainnya buruk dalam matematika karena temannya juga bukan siswa
yang pintar matematika. Keinginan untuk berada di sautu kelompok sosial
tertentu dan bertingkah dengan gaya yang sama dengan siswa lain dapat
mempengaruhi tingkah laku siswa dalam belajar matematika dan performa mereka
dalam kelas matematika.
Siswa yang memiliki permasalahan
sosial mungkin berusaha memonopoli perhatian guru selama jam makan siang, waktu
senggang dengan tujuan untuk berteman dengan guru untuk mengganti kekurangan
pertemanannya. Siswa yang memilih tidak mengerjakan tugas rumah dan tidak
belajar selama ada test biasanya mencoba mengajak teman lain. Siswa yang
mencoba mengganggu kelas atau memonopoli diskusi kelas dan sesi laboratorium
mungkin mencoba untuk mengumpulkan perhatian dari siswa lain melalui aksi ini
dibandingkan melalui prestasi akademik. Siswa yang lain merasa banyak tekanan
sosial yang mendorong mereka untuk belajar, di sisi lain mental dan jiwa mereka
sehat. Umumnya, siswa yang berkepribadian sangat ekstrovert dan sangat
introvert dalam kelas matematika mungkin bereaksi pada tekanan sosial dari
siswa lain atau, pada beberapa kasus, dari orang tua mereka.
Ide Yang Hidup
Kesadaran kritis dapat dicapai jika kita menggunakan
dan memproduksi pengetahuan, bukan didepositokan. Bagi Freire pengetahuan harus
diproduksi melalui proses pencarian yang melibatkan serangkaian aktifitas
belajar dengan guru dan siswa yang berperan sebagai subjek. Pengetahuan harus
digunakan dan diproduksi untuk mentransformasi dunia atau realitas, maka
niscaya pengetahuan tersebut akan menghasilkan ide-ide yang hidup. Pengetahuan yang
diberikan oleh guru pada muridnya akan menjadi ide yang tak berdaya. Maksudnya pengetahuan
yang diperoleh tanpa proses mencari dan memproduksi adalah pengetahuan yang
lemah dan di luar kesadaran. Ide yang tak berdaya ini dapat membahayakan,
melestarikan penindasan. Ide seperti ini
hanya menghasilkan manusia kardus, manusia yang hanya siap menampung
pengetahuan, bukan mencipta pengetahuan. Manusia kardus adalah hasil dari
pendidikan yang mengkondisikan manusia sebagai objek, membisukan, mematikan
ide, menindas. Bagi Freire manusia merupakan subjek yang mampu
mentransformasikan kehidupan melalui kemampuannya dalam memproduksi pengetahuan
melalui ide-ide yang hidup. Manusia bukan penerima pengetahuan, tapi pencipta
pengetahuan.
Pendekatan Algoritma Dalam Problem Solving
Algoritma adalah suatu metode yang akan selalu
menghasilkan solusi bagi suatu masalah. Systematic
Random Search (pencarian acak sistematis) adalah sebuah contoh
algoritma dimana kita mencoba semua
jawaban yang mungkin dengan menggunakan sisitem yang spesifik.
Newel
dan Simon (1972) mengamati bahwa waktu yang digunakan untuk mencari jawaban
suatu masalah sebanding dengan besarnya ruang lingkup masalah itu. Ruang lingkup
masalah ialah semua solusi yang mungkin. Apabila si pemecah masalah tidak bisa
menyadari adanya solusi lain terhadap suatu masalah, maka solusi tersebut tidak
masuk ke dalam ruang masalah.
Algoritma
sering tidak efisien dan tidak praktis karena sangat menyita waktu. Suatu metode
yang lebih praktis adalah heuristic, yaitu strategi pemecahan masalah yang
hanya menguji bagian ruang lingkup masalah , tetapi tidak menjamin diperolehnya
solusi. Ahli psikologi lebih tertarik melakukan penelitian tentang heuristik dibanding algoritma. Alasannya karena
algoritma tidak selalu eksis dalam masalah sehari-hari. Lagi pula orang lebih
suka menggunakan heuristik, dan heuristik lebih banyak digunakan secara luas.
Arti Belajar
Belajar dalam pengertian yang bersifat
umum adalah usaha mencari pengetahuan dan pengalaman baru guna mengatasi
masalah-masalah dalam hidupnya. Termasuk dalam pengertian ini adalah mencari
untuk mendapatkan kecakapan-kecakapan baru. Menurut Cronbach, belajar adlah
perubahan perilaku sebagai hasil (karena) pengalaman. Belajar yang sesungguhnya
adalah belajar karena proses mengalami, menjelajahi sesuatu lewat organ-organ
kita, seprti observasi, eksperimentasi, diskusi, dan sebagainya. jadi demikian
organ-organ kita khususnya indera kita terlatih.
Harold
Spears juga menyatakan bahwa belajar adalah mengobservasi, membaca, meniru,
mencoba, mendengarkan dan mengikuti arahan. Sedangkan Mc. Geoh mengatakan bahwa
belajar adalah adanya perubahan dalam penampilan sebagai hasil dari praktek.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat ditarik pokok-pokok pengertiannya, yakni:
1. Belajar
akan membawa perubahan perilaku baik secara aktual maupun potensial
2. Dengan
belajar seseorang akan mendapat kecakapan baru
3. Perubahan
perilaku dan kecakapan baru itu didapatkan lewat suatu usaha.
Tentang Kepribadian
Kepribadian mermula dari kata Latin persona yang berarti topeng. Kenapa topeng? Konon pada
zaman Yunani kuno para aktor memainkan peran dengan beroteng untuk
menyembunyikan identitas mereka pada saat di atas panggung. Topeng yang dipakai
sesuai dengan ekspresi tokoh yang diperankan. Pada saat berperan sebagai tokoh
kasar maka topeng yang dipakai menggambarkan muka yang ganas dan keji. Jadi,
corak bentuk dan pewarnaan topeng merupakan ekspresi jiwa atau perwatakan
pemerannya.
Munn
menyatakan kepribadian adalah integrasi yang khas daripada struktur dan aktivitas manusia. Dikatakan khas sebab dengan kepribadian itu dapat membedakan
individu yang satu dengan lainnya. Gordon W. Allport mengatakan bahwa
kepribadian adalah organisasi dinamis psikofisik dalam diri individu yang turut
menentukan cara-caranya yang khas dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan
dimana ia berada.
Peran Pendidikan Dalam Pengembangan Kepribadian Indonesia
Dalam
hal ini pastilah ada hubungannya dengan Pancasila karena praktik pendidikan di
Indonesia harus berpedopan pada falsafah bangsa yaitu Pancasila.perlu diingat
bahwa manusia Pancasila adalah manusia yang telah mengerti, menerima,
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila dari
Pancasila. Persoalannya adalah bagaimana mengembangkan kepribadiannya. Dalam hal
ini pendidikan memainkan peran penting
dan andil dalam pengembangan kepribadian bangsa. Nilai-nilai yang perlu
dikembangkan melalui proses pendidikan bersumber pada pikiran, perasaan dan
kemauan. Fungsi pendidikan bagi bangsa Indonesia antara lain membentuk
pribadi-pribadi yang memiliki kepercayaan diri, disiplin, tanggung jawab, mampu
melakukan hubungan manusiawi dan menjadi warga negara yang baik. Peran pendidikan diharapkan dapat melahirkan
pribadi-pribadi yang berkualitas. Manusia yang berkualitas itu harus mampu
memelihara, melestarikan, mengembangkan
lingkungan serta menyesuaikan diri di dalamnya. Artinya, dengan pendidikan itu
akan menyadarkan manusia untuk melestarikan lingkungan dan memanfaatkannya demi
kesejahteraan hidup individu maupun sosial. Menengok ke belakang tentang tujuan
pembangunan nasional maka kita dapatkan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh
masyarakat Indonesia.
Jumat, 30 Desember 2016
Apakah Psikologi Sama dengan Ilmu Jiwa?
Psikologi bermula dari kata psyche yang berati jiwa
dan Logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi merupakan
ilmu jiwa. Tentang psikologi persis samakah dengan ilmu jiwa akan dibahas
secara khusus. Menurut Gerungan, arti kedua kata tersebut tidak berbeda, tetapi
kedua istilah itu ada perbedaannya, yakni:
1. Ilmu
jiwa merupakan istilah bahasa Indonesia yang telah dipakai sehari-hari dan telah dikenal oleh setiap orang secara
luas. Sedangkan psikologi itu merupakan suatu istilah ilmu pengetahuan (sains),
sehingga Gerungan mempergunakan istilah itu untuk menunjukkan pengetahuan ilmu
jiwa yang bercorak tertentu.
2. Ilmu
jiwa diucapkan dalam arti yang lebih luas dari pada istilah psikologi. Ilmu
jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, fantasi atau khayalan
dan spekulasi mengenai jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai
jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode ilmiah yang memenuhi syarat
seperti yang disepakati para ahli psikologi pada zaman sekarag ini. Istilah jiwa
menunjukkan kepada ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan istilah psikologi
menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern. Jadi jelas
bahwa apa saja yang disebut ilmu jiwa itu belum tentu psikologi, tetapi
psikologi itu senantisa juga ilmu jiwa.
Apa Itu Jiwa?
Plato menyatakan bahwa hanya manusialah yang
berjiwa. Mengenai jiwa itut sendiri Plato berpendapat bahwa jiwa itu terbagi
atas dua bagian yakni jiwa rohaniah dan jiwa badaniah. Jiwa rohaniah bersiat
abadi, tidak pernah punah atau mati. Sedangkan jiwa badaniah akan mati
bersama-sama dengan matinya badan manusia. Jiwa rohaniah adalah nbagian
tertinggi daripada jiwa yang berupa rasio dan logika yang bertugas menemukan
kebenaran abadi yang terletak di balik kenyataan di dunia. Dengan rasionya,
manusia dapat berfikir untuk menemukan ide-ide yang benar yang berasal dari
dunia abadi tadi.
Jiwa
yang badaniah terbagi menjadi dua bagian yakni kemauan dan nafsu perasaan. Kemauan
itu taat dan tunduk kepada rasio, sebaliknya nafsu perasaan senantiasa melawan
rasio manusia. Rasio oleh Plato disebut sebagai kecerdasan yan berdaya untuk
memecahkan persoalan. Plato menyebut isi jiwa manusia trikotomi atau tiga
potongan kemampuan jiwa manusia yakni kecerdasan, kemauan, nafsu dan perasaan. Kecerdasan
berada di kepala, kemauan berada di dada dan nafsu perasaan berada di perut. Tiap-tiap
kemampuan itu melahirkan kebijakan khas dan tiap kebijakan itu dimiliki oleh
golongan masyarakat...
Teori Belajar Vygotsky
Teori belajar Vygotsky penekanannya pada sosio kultural dalam
pembelajaran. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya, lingkungan sosial
merupakan faktor yang sangat penting dan bergantung pada interaksi terhadap
orang-orang disekitarnya. Pengetahuan, pemikiran, sikap dan tata nilai yang
dimiliki oleh siswa akan berkembang melalui proses interaksi. Proses interaksi
dan negosiasi sangat menjembatani proses pengkonstruksian pengetahuan siswa.
Interaksi
mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pengembangan konsep siswa sebagai
proses internalisasi kegiatan belajar. Vygotsky mengemukakan bahwa peranan
interaksi sosial dalam pembelajaran memberikan gambaran pengaruh fenomena
sosial terhadap proses pembelajaran itu sendiri.
Menurut
Vygotsky, belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Vygotsky membedakan
adanya dua pengertian perkembangan, yang bersifat spontan dan ilmiah.
Pengertian spontan adalah pengertian yang didapat dari pengalaman siswa
sehari-hari. Pengertian spontan ini tidak dapat didefinisikan prosesnya dan
terangkai secara sistematis logis. Pengertian ilmiah adalah pengertian formal
yang didapat dari kelas. Pengertian ilmiah merupakan pengertian formal yang
didefinisikan secara logis dalam sistem yang lebih luas.
Teori Belajar Piaget
Piaget adalah seorang psikologi pertama yang
menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar, ia mengatakan bahwa
teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam
suatu realita, seperti organisme beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi
menurut Piaget adalah merupakan kesseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru ke dalam pikiran, sedangkan
akomodasi adalah penyusunan kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi itu mempunyai tempat.
Pada
dasarnya belajar adalah proses asimilasi dan akomodasi yang selalu dilakukan
sampai terjadi keseimbangan antara keduanya, belajar tidak hanya menerima
informasi dan pengalaman baru saja, tetapi juga terjadi penstrukturan kembali
informasi dan pengalaman lamanya untuk mengakomodasi informasi dan pengalaman
barunya. Asimilasi dan akomodasi itu merupakan dua aspek dari proses yang sama.
Kedua proses itu adalah dua aktivitas
mental yang pada dasarnya merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi
antara pikiran dan kenyataan, siswa menstruktur hal-hal yang ada di dalam
pikiran siswa, namun tergantung pada bagaimana hal-hal itu ada di dalam
realita. Dengan demikian, belajar tidak hanya menambah informasi dan pengalaman
baru yang ditempelkan ke informasi dan pengalaman sebelumnya tapi setiap
informasi dan pengalaman lamanya itu dimodifikasi untuk mengasimilasi-akomodasi
pengalaman baru.
Apabila
pembelajaran berpijak pada teori piaget, maka tujuan utama pendidikan adalah
harus dipandang sebagai usaha untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan
menunjukkan kepada siswa secara efektif untuk mengembangkan seluruh kapasitas
intelektualnya. Sehingga pembelajaran harus berpusat pada siswa dan penemuan
sendiri (sebagai subjek belajar)
Teori Belajar Ausubel
Inti dari teori Ausubel adalah tentang belajar
bermakna. Belajar bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa yang
telah dimiliki. Dengan belajar bermakna ini siswa akan lebih kuat ingatannya,
sehingga proses belajar selanjutnya akan memperoleh hasil belajar yang lebih
baik.
Dalam
belajar bermakna, materi yang akan dipelajari siswa harus bermakna. Materi
harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus
terdapat pada struktur kognitif siswa. Materi yang bermakna logis adalah materi
yang mempunyai sifat keajegan dengan apa yang telah diketahui dan materi itu
dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti. Materi disusun dari
yang paling inklusif yang kemudian dipecah-pecah menjadi kurang inklusif.
Belajar bermakna lebih mudah berlangsung apabila materi-materi baru dikaitkan
pada materi yang lebih inklusif.. dengan demikian materi-materi itu tersusun
secara hirarkis sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa.
Belajar
bermakna terjadi bila siswa menghubungkan informasi baru ke dalam struktur
pengetahuannya. Apabila informasi baru itu belum ada kaitannya dengan struktur
pengetahuan yang dimiliki maka informasi baru itu akan dipelajari dengan cara
menghapal. Belajar menghapal ini perlu bila siwa memperoleh informasi baru
dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang
telah diketahui.
Guru Konstruktivis
Pembelajaran
berdasarkan konstruktivisme berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi
dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru memberi tekanan pada
penjelasan tentang pengetahuan tersebut dan kacamata siswa sendiri. Duru pada
pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitator. Suparno (1997:66)
menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut:
1. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam rancangan,
proses dan penelitian
2. Menyediakan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasan-gagasan dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana
yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa
3. Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa sejalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Guru
konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa. Sebab, perkembangan
intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah
bagian dari konstruksi semua bidang pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan.
Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran
dan sifat skema siswa.
Rendahnya Mutu Pendidikan Indonesia
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia pada hakekatnya adalah akumulasi dari
penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah. Banyak hal yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan kita.. Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus
beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya kualitas guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU
No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta),
serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan
tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah.
Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru
bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per
jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada
sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Kesenjangan kesejahteraan guru
swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan
swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan
Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat
dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan
amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Kurangnya pemerataan kesempatan
pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
5.Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan
Masalah ini
berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan
yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau indtitusi yang membutuhkan
tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah
relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang
tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan
pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya
lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan
tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang
dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
6. Mahalnya biaya pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal.
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini
dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di
atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci
tangan’.
Langganan:
Postingan (Atom)