Sabtu, 31 Desember 2016

Jika UN dihapuskan 2


Jika UN dihapuskan, lalu apa penggantinya?, sesuatu yang juga dapat dipandang sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan yang relevan tentunya. Tetapi apa itu?. Sebelumnya kita telah mengetahui bagaimana fungsi UN sesungguhnya, yaitu sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan siswa, sekolah dan negara. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika tujuan akhir siswa adalah UN, maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi siswa seperti belajar selama 3 atau 9 tahun hanya dibayar dengan satu kali melaksanakan UN, bagaimana jika seseorang yang pintar tiba-tiba sakit selama mengikuti UN sehingga hasil UN tidak maksimal atau mengecewakan?, sebenarnya masih banyak contoh yang lain dan mungkin anda (para siswa) bisa mengerti tentang keadaan ini. Selain itu siswa juga terbebani karena harus “dicekokki” oleh pelajaran sebanyak itu. Jadi, kesannya kita bersekolah hanya untuk mengejar ijazah. Sekolah pun berlomba-lomba untuk meluluskan anak didiknya seratus persen dengan berbagai cara. Hasilnyanya, pendidikan pun gagal dalam berpartisipasi dalam revolusi mental bangsa ini. Sekali lagi ini hanya pandangan atau pendapat dari kacamata saya saja tentang pendidikan. Pendapat saya, jika UN dihapuskan mungkin pengganti yang bisa diterapkan adalah dengan menuntut prestasi nyata dari sekolah-sekolah di Indonesia. Mungkin bisa dengan menetapkan Kriteria Prestasi Minimal sebagai tolak ukur keberhasilan sekolah. Sehingga seluruh sekolah akan berlomba-lomba menghasilkan prestasi sebanyak mungkin, bukan berlomba-lomba untuk meluluskan siswanya sebanyak mungkin dengan mengkatrol nilai. Karena percuma saja jika lulus dengan otak kosong atau tidak mengalami transformasi. Dengan sistem seperti ini, siswa pun akan saling berkompetisi dalam berprestasi, selain itu siswa juga akan dilatih kreativitasnya, daya ciptanya, dan jiwa-jiwa penelitinya. Karena yang dibutuhkan oleh Indonesia saat ini adalah KREATIVITAS, kreativitas anak bangsa agar dapat menciptakan sesuatu dan bukan hanya menerima, memakai sesuatu yang dibuat oleh negara lain dan agar negara kita lebih maju serta tidak lagi menjadi “pengekor”.

Keyakinan atau Ketuhanan Dalam Pendidikan Barat


Pendidikan di Indonesia tentulah banyak memuat pendidikan akan keyakinan, hal tersebut dikarenakan pijakan dari praktik pendidikan kita adalah Pancasila dan kita tahu bahwa sila yang pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya Tuhan di nomor satu kan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia termasuk pendidikan.
            Lain halnya dengan pendidikan di Barat, fakta yang ada disana adalah bahwa pendidikan jarang sekali menyisipkan pendidikan tentang keyakinan di sekolah-sekolah formalnya. Tetapi menurut saya ini tidak aneh, karena sejak dulu memang aliran-aliran filsafat dan pemikiran pendidikan banyak lahir dari sana. Dalam pendidikan barat, banyak tokoh filsafat pendidikan yang melahirkan paham-paham yang dapat mempengaruhi masyarakatnya serta praktik pendidikan disana. Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan barat dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam pemikiran yang bercirikan materialisme, idealisme, sekularisme, rasionalisme, humanistik, dan sebagainya. Seperti yang kita semua ketahui bahwa kebanyakan dari pandangan atau aliran-aliran tersebut lebih berpusat pada manusia yang menurutnya merupakan segalanya dan menyampingkan adanya Tuhan. Bahkan dalam materialisme dinyatakan bahwa manusia itu berevolusi dari benda mati dan manusia tidak membutuhkan Tuhan. Sungguh pandangan yang sangat jauh dari pemikiran agama mana pun menurut saya, apalagi dari segi islam.

Transformasi Pendidikan Ala Freire


Transformasi adalah perubahan. Transformasi banyak menjadi fokus para pedagog. Banyak orang mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Perubahan yang demikian ini bukan perubahan yang dimaksud Freire. Perubahan yang demikian bisa jadi perubahan dalam konteks egoisme dan individualisme, misalnya, agar menjadi individu yang bebas di tengah pasar bebas, individu dengan gaji besar di perusahaan internasional. Freire tidak mengajarkan cita-cita seperti ini, karena individu yang seperti ini bisa jadi hanya mengususng pasar bebas yang mengabadikan ketidakadilan dunia, yaitu penindasan.
            Perubahan yang demikian tersebut, bisa jadi kerangka etikanya adalah persaingan bebas, yang kuat yang menang, yang kalah ialah pemalas dan bodoh. Kerangka etika Freire adalah humanisasi, pembebasan manusia. Humanisasi tidak terjadi ketika terjadi penindasan atau dehumanisasi. Karena itu perubahan diri individu secara pedagogis harus dalam konteks perubahan sosial.
            Freiere mengatakan bahwa transformasi bukanlah perubahan metode atau teknik. Transformasi tidak dicapai dengan sekedar mengganti metode dan teknik di sekolah. Transformasi bermula dari sebuah kritik sosial. Dengan mengkritik sekolah-sekolah tradisional, kita mengkritik sistem kapitalis yang membangun sekolah-sekolah. Transformasi harus berdampak melampaui dinding-dinding sekolah yang menyekat ruang gerak, menjadi transformasi masyarakat yang meluas, membumi.

Kepercayaan Antara Guru dengan Murid


Menurut Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi, hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi, ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi. Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang, komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.

Kreativitas


Para pembuat teori setuju bahwa hal-hal baru adalah komponen yang sangat penting dari kreativitas. Namun hal-hal baru saja ternyata belum cukup. Jawaban yang kita cari harus memungkinkan kita juga mencapai tujuan kita, selain itu juga harus praktis dan bermanfaat. Misalkan saya meminta anda untuk membuat jawaban kreatif dari pertanyaan ini “bagaimana cara anda memanggang ayam?” dan kemudian jawabannya adalah dengan meletakkan ayam itu di dalam sebuah rumah lalu membakar rumah itu. Maka jawaban ini memberikan kriteria akan hal-hal atau ide baru, namun tidak memenuhi syarat kebergunaan. Bagi para pembuat teori  kemudian mengatakan bahwa kreativitas melibatkan penemuan suatu solusi yang harus tidak biasa dan bermanfaat.
            Definisi kreativitas tidak menetapkan kecerdasan atau inteligen. Kedua kata tersebut memang dua konsep yang berkaitan, namun tidak identik. Jika kita melihat pada banyak sampel mannusia, kecerdasan atau inteligen sedikit banyak berkaitan dengan kreativitas. Menurut Hayes, seseorang paling tidak harus memiliki kecerdasan rata-rata untuk memperoleh pekerjaan yang menangani proyek kreatif. Namun jika anda menguji para profesional dalam satu pekerjaan tertentu (yang memerlukan inteligen minimum), orang yang paling kreatif dan orang yang paling kurang kreatif memiliki IQ yang hampir sama. Inteligen memang penting, tapi tidak cukup untuk menghasilkan kretivitas.

Sekolah Sebagai Pelestari Budaya Bangsa


Sekolah selain mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragamm juga harus melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekrti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah, dan sebagainya.
            Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi, yaitu  pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah. Kedua, sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beraneka ragam demi kepentingan nasional. Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu. Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu menjadi manusia yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.

Kepercayaan Antara Guru dengan Murid


Menurut Freire, kepercayaan merupakan sebuah manifestasi dari adanya cinta, kerendahan hati dan keyakinan. Kepercayaan merupakan buah dari ketulusan hati manusia yang ditujukan pada tujuan yang murni dan konkret demi pembebasan atau humanisasi, hubungan dialogis adalah hubungan yang terbuka dan tanpa manipulasi, ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan akan memudarkan kepercayaan antara manusia sebagai pelaku dialog, dan dialog murni yang tidak akan terjadi. Membangun sebuah kepercayaan antara guru dengan murid adalah suatu keniscayaan pendidikan yang humanis dan dialogis. Melalui ketulusan hati seorang guru, ia membangun hubungan dialogis dengan muridnya, membantu muridnya berkembang, komunikasi dibangun dengan rasa cinta dan rendah hati serta percaya pada potensi anak didik. Terkait dengan hal itu, maka murid pun akan bersikap demikian, ia akan mencintai gurunya, yakin akan setiap bimbingannya dan percaya padanya. Iklim kelas penuh cinta dan kepercayaan antara satu sama lain merupakan wujud pendidikan yang sesungguhnya.


Menciptakan Masyarakat Belajar


Pendidikan adalah untuk semua orang yang mampu mengikutinya. Karena pendidikan itu untuk semua orang, maka pendidikan adalah untuk masyarakat. Pendidikan bukan menekan pada aspek mengajar, tetapi pendidikan lebih menekankan pada aspek belajar  yang tidak mengabaikan aspek mengajar karena pendidikan itu merupakan proses belajar-mengajar. Sekolah tidak hanya menyiapkan anak untuk hidup nanti, tetapi sekolah hendaknya menyiapkan anak untuk belajar sepanjang hidupnya. Seperti prinsip dari Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa belajar itu sepanjang hayat. Anak harus dipandang sebagai subjek yang selalu ingin tahu. Oleh karena itu sekolah harus membuat anak supaya tertarik dan ingin belajar terus menerus tanpa pandang tempat, waktu serta umur dan membiasakan diri belajar dengan menggunakan sumber-sumber belajar yang ada baik dalam sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini juga berlaku bagi seluruh masyarakat indonesia.

Humanisasi


Aliran Humanisasi lahir di Itali dengan pelopor utamanya Petrarca dan Boccaeclo. Ciri-ciri yang tampak pada aliran ini adalah ingin mengubah suasana abad pertengahan dan mengarahkan hidup kepada hal-hal yang bersifat kefanaan, sebagai lawan kebakaan. Maksudnya, Tuhan (baka) sebagai pusat norma tertinggi harus ditinggalkan. Jadi, cita-cita dan segala sesuatu yang diinginkan dan diangankan oleh manusia dicari pada manusia itu sendiri. Masalah kebenaran, kesusilaan, keindahan bersumber pada manusia itu pula.
            Tujuan pendidikan menurut Humanisme adalah membentuk manusia yang berani, bebas dan gembira. Manusia berani berarti manusia yang percaya kepada diri sendiri, bukan taat kepada kekuasaan Tuhan seperti pada saat jaman pertengahan. Menurut saya yang disebut Tuhan disini adalah para penguasa karena pada saat itu penguasa dianggap sebagai Tuhan. Manusia bebas artinya lepas dari ikatan dan tradisi, berkembang selaras, individualistis, bukan manusia kolektifistis dan terikat. Manusia gembira menunjukkan dirinya pada kenikmatan duniawi (fana), bukan keakhiratan (baka) seperti abad pertengahan.

Meningkatkan Mutu Pendidikan


Mutu pendidikan akan meningkat apabila proses belajar mengajar berjalan secara optimal. Agar proses belajar mengajar dapat berjalan optimal maka perlu diperhatikan lima faktor.
            Pertama, Tujuan Pendidikan, baik tujuan institusional, tujuan kurikuler, maupun tujuan pengajaran hendaknya dirumuskan secara jelas dan tepat sesuai dengan tujuan akhir dan kompetensi yang akan dicapai.
            Kedua, materi pelajaran yang berwujud pengetahuan hendaknya sesuaiai dengan kebutuhan dalam rangka mencapai tujuan dan kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Isi materi pelajaran hendaknya dibuat sedemikian rupa supaya siswa menemukan sesuatu. Organisasi materi hendaknya memberi kesempatan pada siswa untuk menganalisis, membuat kesimpulan, mengerjakan sesuatu hingga  pengetahuan benar-benar dipahami
            Ketiga, metode penyampaian materi pelajaran yang digunakan hendaknya lebih dari satu macam dan disesuaikan dengan tujuan pengajaran, materi pengajaran, suasana kelas, jumlah siswa serta waktu dan tempat. Penggunaan metode yang bervariasi dapat memungkinkan siswa untuk berdiskusi, berlatih, berfikir ilmiah dan dapat menemukan sesuatu sendiri, belajar bekerja sama, dan lainnya.
            Keempat, perlu diperhatikan kemampuan yang telah dimiliki anak (entering behavior). Pemilihan materi pelajaran, pemilihan metode pengajaran  hendaknya disesuaikan dengan pengetahuan yang dimiliki anak, umur, kemampuan dan latar belakang sosial anak.
            Kelima, adanya fasilitas dan perlengkapan yang memadai sehingga dapat mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang optimal. Ruangan kelas yang fleksibel, sehingga dapat diatur untuk belajar klasikal, kelompok maupun perseorangan. Selain itu perlu ada buku-buku dan media pendidikan yang memadai.

Masa Remaja


Menurut Agustiani (2009), Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa (Clarke-Stewart & Friedman, 1987; Ingersoll, 1989; Agustiani, 2009).
            Menurut Agustiani (2009), selain perubahan yang terjadi dalam diri remaja, terdapat pula perubahan dalam lingkungan seperti sikap orang tua atau anggota keluarga lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Remaja dituntut untuk mampu menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai bagi orang-orang sekitarnya. Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar dirinya itu membuat  kebutuhan remaja semakin meningkat terutama kebutuhan sosial dan kebutuhan psikologisnya.

1.      Perkembangan masa Remaja
      Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut: (Konopka, 1973 dalam Pikunas: Ingersoll, 1989; Agustiani, 2009)
a.       Masa Remaja Awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya.
b.      Masa Remaja Pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah mampu mengarahkan  diri sendiri (self-directed). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai.
c.       Masa Remaja Akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama perode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan self of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.

Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Perkembangan Konsep Diri


Pudjijogyanti (1993, dalam Prawoto, 2010) mengemukakan ada beberapa peranan atau faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri, antara lain:
a.       Peranan Citra Fisik
            Tanggapan dari individu lain mengenai keadaan fisisk individu yang ia lihat akan didasari oleh adanya dimensi tubuh ideal. Pada  umumnyabentuk tubuh ideal laki-laki adalah atletis, berotot, dan kekar, sedangkan bentuk tubuh ideal wanita adalah halus, lemah, dan kecil. Dengan adanya dimensi tubuh ideal, maka setiap individu berusaha mencapai patokan ideal tersebut. Setiap individu menganggap bahwa ia akan mendapat tanggapan yang positif dari individu lain apabila ia berhasil mencapai patokan tubuh ideal.
b.      Peranan Jenis Kelamin
            Adanya perbedaan biologis antara laki-laki dengan perempuan menentukan pula peran masing-masing jenis kelamin.Wilson (1976, dalam Pudjijogyanti, 1993; Prawoto, 2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa laki-laki mempunyai sumber konsep diri yang berbeda dengan wanita. Konsep diri laki-laki bersumber pada keberhasilan pekerjaan, persaingan dan kekuasaan. Sedangkan, konsep diri wanita bersumber padda keberhasilan tujuan pribadi, citra fisik, dan keberhasilan dalam hubungan keluarga.
c.       Peranan Perilaku Orang Tua
            Menurut Prawoto (2010), lingkungan pertama yang menanggapi perilaku individu adalah lingkungan keluarga, maka dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan ajang pertama dalam pembentukkan konsep diri anak. Cara orang tua memenuhi kebutuhan fisik anak dan kebutuhan psikologis anak merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap seluruh perkembangan kepribadian anak. Pengalaman anak dalam berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga merupakan penentu pula dalam berinteraksi dengan orang lain di kemudian hari. Jadi bagaimana sikap individu di lingkungan luar banyak dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya.
d.      Peranan Faktor Sosial
            Menurut Prawoto (2010), Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang disekitarnya. Apa yang dipersepsikan individu lain mengenai diri individu tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang disandang individu. Adanya struktur, peran dan status sosial yang menyertai persepsi individu laiin terhadap diri individu merupakan petunjuk bahwa seluruh perilaku individu dipengaruhi oleh faktor sosial. Hal ini sejalan dengan dengan teori yang dikemukakan Kurt Lewin, yaitu perilaku individu merupakan fungsi dari karakteristik lingkungannya.

Konsep Diri


Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan (Fitts, 1971 dalam Agustiani, 2009). Ia menjelasakan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. Cawagas (1983, dalam Pudjijogyanti,1993; Prawoto, 2010) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisik, karakteristik pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian, kegagalan, dan lain sebagainya.
Jadi, konsep diri merupakan keseluruhan pandangan mengenai diri individu.
            Secara umum, penilaian tentang konsep diri dibagi menjasi dua bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri positif adalah mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, sedangkan salah satu ciri individu yang memiliki konsep diri yang negatif adalah tidak mampu menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya (Rakhmat, 2005 dalam Prawoto, 2010). Selain itu, konsep diri terbentuk atas dua komponen, yaitu komponen kognitif dan kommponen afektif. Komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang dirinya. Komponen afektif merupakan penilaian individu terhadap diri sendiri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem) individu (Pudjijogyanti, 1993 dalam Prawoto, 2010). Dapat disimpulakan bahwa komponen kognitif merupakan data yang bersifat objektif. Sedangkan komponen afektif merupakan data yang bersifat subjektif.

Mengatasi Masalah Emosional Siswa


Siswa yang terganggu secara emosional dapat mengambil bimbingan konselling dan pendamping khusus di luar kelas, akan tetapi banyak hal yang dapat dilakukan guru untuk membantu siswa yang memiliki masalah emosional. Karena banyak masalah emosional disebabkan oleh  stress, guru harus melindungi siswa dari tekanan-tekanan yang ada di kelas dan menyediakan aktivitas belajar yang menarik dan memuaskan bagi mereka. Masalah dan tekanan yang berkaitan dengan sekolah hanya akan meningkatkan gangguan emosional siswa, mungkin lebih baik mengijinkannya terlambat mengumpulkan tugas rumah  atau memulai test hanya ketika siswa tersebut siap. Jangan memaksa siswa untuk memberikan perhatian dalam belajar matematika ketika mereka sendiri sedang berusaha mengatasi masalah yang menyebabkan kesulitan emosionalnya.
            Siswa yang terganggu mungkin membutuhkan seseorang yang bisa diajak berdiskusi tentang masalahnya. Dalam banyak kasus mereka akan memilih guru faforit mereka, yang mungkin adalah anda, untuk membantu mengatasi stressnya. Guru bisa membantu siswa yang terganggu secara emosional dengan menjadi bersahabat, perhatian dan pengertian dengan mereka. Suatu waktu guru dapat membantu siswa yang terganggu dengan menjadi teman dan pembimbing untuk mereka. Kelas matematika yang santai, bersahabat dan kooperatif mungkin dibutuhkan oleh siswa yang terganggu agar  sementara dapat keluar dari masalah mereka  dengan melibatkan dirinya pada pembelajaran matematika yang menarik.








Menangani Permasalahan Sosial Siswa


Siswa yang tidak diterima oleh siswa lain dalam strukktur sosialnya di kelas matematika bisa menjadi pemalu dan tidak responsif di kelas, sementara siswa yang senang mencari perhatian akan menguasai banyak aktivitas yang mengganggu lingkungan belajar di kelas. Siswa yang tidak diterima atau diabaikan oleh siswa lain akan mendapat perhatian khusus dari guru. Guru harus berusaha melibatkan siswa-siswa tersebut pada diskusi kelas dengan mengajaknya berbicara, menanyainya beberapa pertanyaan, mendorongnya untuk memberikan tanggapan pada pernyataan siswa lain, dan mendorong siswa lain untuk menanggapi pernyataannya. Pastikan untuk selalu memberikan pengakuan terhadap publik atas apa yang telah dikerjakannya seperti mengerjakan PR dengan baik atau menulis paper ujian dengan baik. Suatu waktu guru dapat mendorong siswa-siswa yang pemalu secara sosial untuk menyelesaikan proyek yang dapat menarik perhatian siswa lain seperti membuat model matematika, menyelesaikan permasalahan logika, mengkonstruksikan sesuatu secara visual,dll. Banyak diantara siswa pendiam ini yang memiliki bakat, ketertarikan dan hobi khusus yang mana siswa lain mungkin ingin ikut terlibat. Guru harus berusaha membuat siswa-siswa ini merasa bahwa mereka juga memiliki tempat dalam struktur sosial di kelas.
            Untuk menjaga siswa yang over-aktif agar tidak mengganggu pelajaran matematika, mungkin perlu untuk berbicara dengannya secara khusus. Sewaktu-waktu mungkin guru dapat mengarahkan energi siswa-siswa ini kepada perhatian konstruktif- melakukan kegiatan seperti tugas matematika khusus  sehingga dapat merubahnya menjadi siswa yang lebih baik.
            Mungkin penting untuk mencarikan bantuan dari bimbingan konselling atau ahli jiwa untuk menangani siswa yang sangat tidak bisa menyesuaikan diri secara sosial. Siswa yang demikian butuh pemahaman dan bimbingan, serta tekanan memaksanya untuk menyesuaikan diri hanya akan memperburuk keadaan sosialnya.

Menanggapi Pengaruh Kebiasaan dalam Belajar


Masalah yang berkaitan dengan kebiasaan belajar di sekolah jarang disebabkan oleh kekurangan dari beberapa budaya tertentu; hal tersebut biasanya disebabkan oleh kegagalan guru untuk memahami dan menilai kebiasaan-kebiasaan dari siswanya. Guru matematika harus menerima fakta bahwa gaya hidup orang yang berbeda-beda memiliki cara yang berbeda pula dalam mengekspresikan dirinya, menggunakan gaya berbicara yang berbeda, sikap yang berbeda, serta memiliki nilai dan tingkah laku yang berbeda. Guru matematika yang memaksakan nilai kebiasaan mereka pada siswanya justru akan memberi pengaruh negatif pada tingkah laku siswa dalam belajar matematika. Guru harus menghormati perbedaan kebiasaan diantara siswanya dan harus mengesampingkan perbedaan-perbedaan ini dalam mengajar matematika. Cara terbaik untuk mencegah munculnya masalah belajar akibat perbedaan budaya dan etnik adalah dengan memperlakukan semua siswa sama rata, memperlakukan setiap siswa dengan hormat, tulus dan memperhatikan kesejahteraan mereka.

Guru Harus Memaklumi Ketidakcukupan Mental Siswa


Mungkin saran terbaik yang bisa diberikan kepada pengajar yang mengajari siswa yang kekurangan kemampuan mental dalam mempelajari matematika adalah untuk tidak menyalahkan siswa atas keterbatasan intelektualnya. Pelajar yang lambat dalam matematika dapat diberi waktu tambahan untuk menyelesaikan tugas, harus didampingi dalam belajar, dan harus diberikan banyak representasi konkrit dari matematika yang abstrak. Tugas mandiri, aktivitas kelas, pretest dan postest juga diperlukan untuk membantu siswa tersebut setidaknya menguasai beberapa keahlian matematika.
            Bimbingan konselling, ahli jiwa sekolah dapat membantu mengidentifikasi dan mengukur kemampuan mental secara spesifik. Setelah guru mengidentifikasi masalah intelektual yang dimiliki siswanya, ada dua pendekatan umum untuk menangani situasi ini. Guru dapat membantu siwa untuk meningkatkan kemampuannya yang kurang atau guru dapat membuat aktivitas belajar yang khusus untuk memaklumi  ketidakmampuan intelektualnya. Dalam banyak kasus, kombjnasi dari kedua pendekatan tersebut merupakan cara paling efektif untuk membantu mengatasi kesultan belajar mereka. Latihan dan kegiatan matematika khusus dapat disiapkan untuk membantu menguatkan kemampuan intelektualnya secara spesifik sementara kegiatan lain dapat dibuat sedemikian rupa agar kemampuan mental siswa lebih kuat dalam belajar matematika. Contohnya, siswa yang memiliki masalah dalam memahami beberapa karakteristik dari konsep matematika sebaiknya diberi latihan dalam mengidentifikasi dimensi yang relevan dan tidak relevan dari banyak konsep matematika yang berbeda. Siswa yang tidak bisa memahami abstraksi matematika dapat mempelajari aturan, konsep dan keterampilan dasar matematika dengan representasi konkret dari beberapa objek.
            Beberapa orang memiliki cacat mental yang parah, siswa siswa yang seperti ini mungkin bisa diarahkan untuk program dan kursus khusus dimana guru yang telah terdidik secara khusus dapat membantu mereka mempelajari beberapa ketrampilan dasar. Siswa lain yang cukup cerdas mungkin tidak perlu dan tidak harus menyelesaikan serangkaian bimbingan matematika sekolah menengah. Penguasaan keterampilan dasar matematika cukup untuk beberapa siswa yang hanya tidak bahagia, frustasi, dan tidak berhasil pada level bimbingan matematika yang lebih tinggi.

Betapa Pentingnya Pendidikan


Di masa sekarang ini, pendidikan tidaklah sesulit jaman dahulu. Pendidikan bisa dinikmati oleh hampir semua kalangan. Walaupun ada juga beberapa kalangan yang menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal. Begitu pentingnya pendidikan bagi semua elemen masyarakat untuk kemajuan bangsa. Dalam tatanan pemerintahan pun, anggaran biaya untuk pendidikan sangat besar, sesuai dengan amanat undang-undang. Walaupun dalam pelaksanaanya entah sesuai atau tidak. Yang jelas, pendidikan merupakan dasar yang kuat bagi suatu bangsa
Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya suatu pendidikan : “Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia” Dan tentulah dari pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
Dalam Peringatan Taman Siswa ke-30 Tahun, Ki Hadjar Dewantara mengatakan, “Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu ‘dipelopori’, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri.”Maksud dari pernyataan Ki Hadjar Dewantara tersebut dengan gamblang menunjukkan apa yang seharusnya lahir dari sebuah proses pendidikan, yaitu “agar anak-anak berpikir sendiri”. Dengan begitu, mereka menjadi orisinal dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan dianggap berhasil ketika anak mampu mengenali tantangan apa yang ada di depannya dan tahu bagaimana seharusnya mereka mengatasinya.

Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau terbelakang, karena seperti yang kita ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi maupun kemampuannya.

Apabila keluaran dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana Indonesia dapat mencapai kemajuan. Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka tentunya peningkatan mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Kita ambil contoh Amerika, mereka tidak akan bisa menjadi seperti sekarang ini apabila pendidikan mereka setaraf dengan kita. Lalu bagaimana dengan Jepang? Jepang sangat menghargai pendidikan, mereka rela mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye atau hal lain tentang kedudukan seperti yang Indonesia lakukan. Oleh karena itu, jika Indonesia ingin menjadi suatu negara yang maju, maka pendidikan haruslah menjadi hal yang utama bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Makna Hari Pendidikan Nasional


            Indonesia sudah merdeka sejak 1945, namun kita masih bisa melihat bahwa Indonesia belum bisa mendapatkan pendidikan yang layak, kita semua tahu sekolah-sekolah pedalaman, sekolah perbatasan dan sekolah yang dananya dijadikan bahan korupsi bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. Fakta maraknya tawuran antar pelajar dan demonstrasi mahasiswa yang didominasi oleh tindak kekerasan, kecurangan saat UN, dan rendahnya akhlak generasi yang ditunjukkan dengan maraknya seks bebas tidak bisa kita pungkiri.

            Melihat fakta rusaknya generasi saat ini, tidak salah jika banyak pihak yang mengandalkan sektor pendidikan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Alasannya adalah karena pendidikan yang mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi saat ini dan pendidikan merupakan pilar peradaban tempat lahirnya generasi penerus bangsa  yang cerdas, beradab, berbudaya dan berkualitas.
           
            Maka dari itu Hari Pendidikan Nasional adalah momentun bagi seluruh lapisan yang memperhatikan pendidikan untuk memperjuangkan pendidikan yang layak bagi bangsa indonesia, mari kita lawan dan berantas korupsi di dunia pendidikan dan di tanah air kita, karena hal tersebut hanya akan meperbodoh bangsa ini dan bertentangan dengan kemauan UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hari Pendidikan Nasional juga seharusnya bisa menjadi momen refleksi bagi Bangsa Indonesia untuk menemukan cara bagaimana memperbaiki kualitas generasi bangsa ini. Ditambah lagi, Indonesia memiliki berbagai potensi yang seharusnya mampu melahirkan generasi cemerlang. Dengan demikian, mampu membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang bisa dipandang dengan terhormat oleh negara lain, yakni negara maju yang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya.

Hari Pendidikan Nasional semestinya diperingati tidak hanya sebagai upaya mengenang seorang Ki Hajar Dewantoro semata dengan mengadakan upacara bendera sebagai simbol belaka tanpa memahami makna penting pendidikan yang sesungguhnya, tapi lebih luas lagi kepada seluruh elemen yang mendukung kemajuan suatu bangsa.

Permasalahan Sosial dalam Belajar


Remaja di sekolah menengah banyak dipengaruhi oleh interaksi sosialnya dengan orang lain; pencarian mereka untuk diterima kelompoknya, berkali-kali memaksakan diri dalam belajarnya di sekolah. Siswa yang tidak mendapatkan pengakuan dari siswa lain dan tidak diterima sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial di sekolah cenderung menarik diri dari aktifitas kelas karena mereka tidak merasa nyaman atau pantas untuk berada dalam struktur sosial di sekolah. Beberapa siswa bisa menjadi disiplin dalam usahanya untuk mendapat perhatian guru dan siswa lain, sementara yang lainnya buruk dalam matematika karena temannya juga bukan siswa yang pintar matematika. Keinginan untuk berada di sautu kelompok sosial tertentu dan bertingkah dengan gaya yang sama dengan siswa lain dapat mempengaruhi tingkah laku siswa dalam belajar matematika dan performa mereka dalam kelas matematika.
            Siswa yang memiliki permasalahan sosial mungkin berusaha memonopoli perhatian guru selama jam makan siang, waktu senggang dengan tujuan untuk berteman dengan guru untuk mengganti kekurangan pertemanannya. Siswa yang memilih tidak mengerjakan tugas rumah dan tidak belajar selama ada test biasanya mencoba mengajak teman lain. Siswa yang mencoba mengganggu kelas atau memonopoli diskusi kelas dan sesi laboratorium mungkin mencoba untuk mengumpulkan perhatian dari siswa lain melalui aksi ini dibandingkan melalui prestasi akademik. Siswa yang lain merasa banyak tekanan sosial yang mendorong mereka untuk belajar, di sisi lain mental dan jiwa mereka sehat. Umumnya, siswa yang berkepribadian sangat ekstrovert dan sangat introvert dalam kelas matematika mungkin bereaksi pada tekanan sosial dari siswa lain atau, pada beberapa kasus, dari orang tua mereka.

Ide Yang Hidup


Kesadaran kritis dapat dicapai jika kita menggunakan dan memproduksi pengetahuan, bukan didepositokan. Bagi Freire pengetahuan harus diproduksi melalui proses pencarian yang melibatkan serangkaian aktifitas belajar dengan guru dan siswa yang berperan sebagai subjek. Pengetahuan harus digunakan dan diproduksi untuk mentransformasi dunia atau realitas, maka niscaya pengetahuan tersebut akan menghasilkan ide-ide yang hidup. Pengetahuan yang diberikan oleh guru pada muridnya akan menjadi ide yang tak berdaya. Maksudnya pengetahuan yang diperoleh tanpa proses mencari dan memproduksi adalah pengetahuan yang lemah dan di luar kesadaran. Ide yang tak berdaya ini dapat membahayakan, melestarikan penindasan. Ide seperti ini  hanya menghasilkan manusia kardus, manusia yang hanya siap menampung pengetahuan, bukan mencipta pengetahuan. Manusia kardus adalah hasil dari pendidikan yang mengkondisikan manusia sebagai objek, membisukan, mematikan ide, menindas. Bagi Freire manusia merupakan subjek yang mampu mentransformasikan kehidupan melalui kemampuannya dalam memproduksi pengetahuan melalui ide-ide yang hidup. Manusia bukan penerima pengetahuan, tapi pencipta pengetahuan.

Pendekatan Algoritma Dalam Problem Solving


Algoritma adalah suatu metode yang akan selalu menghasilkan solusi bagi suatu masalah. Systematic Random Search (pencarian acak sistematis) adalah sebuah contoh algoritma  dimana kita mencoba semua jawaban yang mungkin dengan menggunakan sisitem yang spesifik.
            Newel dan Simon (1972) mengamati bahwa waktu yang digunakan untuk mencari jawaban suatu masalah sebanding dengan besarnya ruang lingkup masalah itu. Ruang lingkup masalah ialah semua solusi yang mungkin. Apabila si pemecah masalah tidak bisa menyadari adanya solusi lain terhadap suatu masalah, maka solusi tersebut tidak masuk ke dalam ruang masalah.
            Algoritma sering tidak efisien dan tidak praktis karena sangat menyita waktu. Suatu metode yang lebih praktis adalah heuristic, yaitu strategi pemecahan masalah yang hanya menguji bagian ruang lingkup masalah , tetapi tidak menjamin diperolehnya solusi. Ahli psikologi lebih tertarik melakukan penelitian tentang  heuristik dibanding algoritma. Alasannya karena algoritma tidak selalu eksis dalam masalah sehari-hari. Lagi pula orang lebih suka menggunakan heuristik, dan heuristik lebih banyak digunakan secara luas.

Arti Belajar


Belajar dalam pengertian yang bersifat umum adalah usaha mencari pengetahuan dan pengalaman baru guna mengatasi masalah-masalah dalam hidupnya. Termasuk dalam pengertian ini adalah mencari untuk mendapatkan kecakapan-kecakapan baru. Menurut Cronbach, belajar adlah perubahan perilaku sebagai hasil (karena) pengalaman. Belajar yang sesungguhnya adalah belajar karena proses mengalami, menjelajahi sesuatu lewat organ-organ kita, seprti observasi, eksperimentasi, diskusi, dan sebagainya. jadi demikian organ-organ kita khususnya indera kita terlatih.
      Harold Spears juga menyatakan bahwa belajar adalah mengobservasi, membaca, meniru, mencoba, mendengarkan dan mengikuti arahan. Sedangkan Mc. Geoh mengatakan bahwa belajar adalah adanya perubahan dalam penampilan sebagai hasil dari praktek.
      Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik pokok-pokok pengertiannya, yakni:
1.      Belajar akan membawa perubahan perilaku baik secara aktual maupun potensial
2.      Dengan belajar seseorang akan mendapat kecakapan baru
3.      Perubahan perilaku dan kecakapan baru itu didapatkan lewat suatu usaha.

Tentang Kepribadian


Kepribadian mermula dari kata Latin persona  yang berarti topeng. Kenapa topeng? Konon pada zaman Yunani kuno para aktor memainkan peran dengan beroteng untuk menyembunyikan identitas mereka pada saat di atas panggung. Topeng yang dipakai sesuai dengan ekspresi tokoh yang diperankan. Pada saat berperan sebagai tokoh kasar maka topeng yang dipakai menggambarkan muka yang ganas dan keji. Jadi, corak bentuk dan pewarnaan topeng merupakan ekspresi jiwa atau perwatakan pemerannya.
            Munn menyatakan kepribadian adalah integrasi yang khas daripada struktur  dan aktivitas manusia. Dikatakan khas  sebab dengan kepribadian itu dapat membedakan individu yang satu dengan lainnya. Gordon W. Allport mengatakan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis psikofisik dalam diri individu yang turut menentukan cara-caranya yang khas dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dimana ia berada.

Peran Pendidikan Dalam Pengembangan Kepribadian Indonesia


Dalam hal ini pastilah ada hubungannya dengan Pancasila karena praktik pendidikan di Indonesia harus berpedopan pada falsafah bangsa yaitu Pancasila.perlu diingat bahwa manusia Pancasila adalah manusia yang telah mengerti, menerima, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila dari Pancasila. Persoalannya adalah bagaimana mengembangkan kepribadiannya. Dalam hal ini pendidikan memainkan peran penting  dan andil dalam pengembangan kepribadian bangsa. Nilai-nilai yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan bersumber pada pikiran, perasaan dan kemauan. Fungsi pendidikan bagi bangsa Indonesia antara lain membentuk pribadi-pribadi yang memiliki kepercayaan diri, disiplin, tanggung jawab, mampu melakukan hubungan manusiawi dan menjadi warga negara yang baik. Peran  pendidikan diharapkan dapat melahirkan pribadi-pribadi yang berkualitas. Manusia yang berkualitas itu harus mampu memelihara, melestarikan,  mengembangkan lingkungan serta menyesuaikan diri di dalamnya. Artinya, dengan pendidikan itu akan menyadarkan manusia untuk melestarikan lingkungan dan memanfaatkannya demi kesejahteraan hidup individu maupun sosial. Menengok ke belakang tentang tujuan pembangunan nasional maka kita dapatkan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh masyarakat Indonesia.

Jumat, 30 Desember 2016

Apakah Psikologi Sama dengan Ilmu Jiwa?


Psikologi bermula dari kata psyche yang berati jiwa dan Logos  yang berarti ilmu. Jadi psikologi merupakan ilmu jiwa. Tentang psikologi persis samakah dengan ilmu jiwa akan dibahas secara khusus. Menurut Gerungan, arti kedua kata tersebut tidak berbeda, tetapi kedua istilah itu ada perbedaannya, yakni:
1.      Ilmu jiwa merupakan istilah bahasa Indonesia yang telah dipakai sehari-hari  dan telah dikenal oleh setiap orang secara luas. Sedangkan psikologi itu merupakan suatu istilah ilmu pengetahuan (sains), sehingga Gerungan mempergunakan istilah itu untuk menunjukkan pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak tertentu.
2.      Ilmu jiwa diucapkan dalam arti yang lebih luas dari pada istilah psikologi. Ilmu jiwa meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, fantasi atau khayalan dan spekulasi mengenai jiwa itu. Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode ilmiah yang memenuhi syarat seperti yang disepakati para ahli psikologi pada zaman sekarag ini. Istilah jiwa menunjukkan kepada ilmu jiwa pada umumnya, sedangkan istilah psikologi menunjukkan ilmu jiwa yang ilmiah menurut norma-norma ilmiah modern. Jadi jelas bahwa apa saja yang disebut ilmu jiwa itu belum tentu psikologi, tetapi psikologi itu senantisa juga ilmu jiwa.

Apa Itu Jiwa?


Plato menyatakan bahwa hanya manusialah yang berjiwa. Mengenai jiwa itut sendiri Plato berpendapat bahwa jiwa itu terbagi atas dua bagian yakni jiwa rohaniah dan jiwa badaniah. Jiwa rohaniah bersiat abadi, tidak pernah punah atau mati. Sedangkan jiwa badaniah akan mati bersama-sama dengan matinya badan manusia. Jiwa rohaniah adalah nbagian tertinggi daripada jiwa yang berupa rasio dan logika yang bertugas menemukan kebenaran abadi yang terletak di balik kenyataan di dunia. Dengan rasionya, manusia dapat berfikir untuk menemukan ide-ide yang benar yang berasal dari dunia abadi tadi.
            Jiwa yang badaniah terbagi menjadi dua bagian yakni kemauan dan nafsu perasaan. Kemauan itu taat dan tunduk kepada rasio, sebaliknya nafsu perasaan senantiasa melawan rasio manusia. Rasio oleh Plato disebut sebagai kecerdasan yan berdaya untuk memecahkan persoalan. Plato menyebut isi jiwa manusia trikotomi atau tiga potongan kemampuan jiwa manusia yakni kecerdasan, kemauan, nafsu dan perasaan. Kecerdasan berada di kepala, kemauan berada di dada dan nafsu perasaan berada di perut. Tiap-tiap kemampuan itu melahirkan kebijakan khas dan tiap kebijakan itu dimiliki oleh golongan masyarakat...

Teori Belajar Vygotsky


Teori belajar Vygotsky  penekanannya pada sosio kultural dalam pembelajaran. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya, lingkungan sosial merupakan faktor yang sangat penting dan bergantung pada interaksi terhadap orang-orang disekitarnya. Pengetahuan, pemikiran, sikap dan tata nilai yang dimiliki oleh siswa akan berkembang melalui proses interaksi. Proses interaksi dan negosiasi sangat menjembatani proses pengkonstruksian pengetahuan siswa.
            Interaksi mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pengembangan konsep siswa sebagai proses internalisasi kegiatan belajar. Vygotsky mengemukakan bahwa peranan interaksi sosial dalam pembelajaran memberikan gambaran pengaruh fenomena sosial terhadap proses pembelajaran itu sendiri.
            Menurut Vygotsky, belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Vygotsky membedakan adanya dua pengertian perkembangan, yang bersifat spontan dan ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapat dari pengalaman siswa sehari-hari. Pengertian spontan ini tidak dapat didefinisikan prosesnya dan terangkai secara sistematis logis. Pengertian ilmiah adalah pengertian formal yang didapat dari kelas. Pengertian ilmiah merupakan pengertian formal yang didefinisikan secara logis dalam sistem yang lebih luas.

Teori Belajar Piaget


Piaget adalah seorang psikologi pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar, ia mengatakan bahwa teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realita, seperti organisme beradaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi menurut Piaget adalah merupakan kesseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru ke dalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah penyusunan kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi itu mempunyai tempat.
            Pada dasarnya belajar adalah proses asimilasi dan akomodasi yang selalu dilakukan sampai terjadi keseimbangan antara keduanya, belajar tidak hanya menerima informasi dan pengalaman baru saja, tetapi juga terjadi penstrukturan kembali informasi dan pengalaman lamanya untuk mengakomodasi informasi dan pengalaman barunya. Asimilasi dan akomodasi itu merupakan dua aspek dari proses yang sama. Kedua  proses itu adalah dua aktivitas mental yang pada dasarnya merupakan suatu proses yang melibatkan interaksi antara pikiran dan kenyataan, siswa menstruktur hal-hal yang ada di dalam pikiran siswa, namun tergantung pada bagaimana hal-hal itu ada di dalam realita. Dengan demikian, belajar tidak hanya menambah informasi dan pengalaman baru yang ditempelkan ke informasi dan pengalaman sebelumnya tapi setiap informasi dan pengalaman lamanya itu dimodifikasi untuk mengasimilasi-akomodasi pengalaman baru.
            Apabila pembelajaran berpijak pada teori piaget, maka tujuan utama pendidikan adalah harus dipandang sebagai usaha untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan menunjukkan kepada siswa secara efektif untuk mengembangkan seluruh kapasitas intelektualnya. Sehingga pembelajaran harus berpusat pada siswa dan penemuan sendiri (sebagai subjek belajar)

Teori Belajar Ausubel


Inti dari teori Ausubel adalah tentang belajar bermakna. Belajar bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa yang telah dimiliki. Dengan belajar bermakna ini siswa akan lebih kuat ingatannya, sehingga proses belajar selanjutnya akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik.
            Dalam belajar bermakna, materi yang akan dipelajari siswa harus bermakna. Materi harus memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat pada struktur kognitif siswa. Materi yang bermakna logis adalah materi yang mempunyai sifat keajegan dengan apa yang telah diketahui dan materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti. Materi disusun dari yang paling inklusif yang kemudian dipecah-pecah menjadi kurang inklusif. Belajar bermakna lebih mudah berlangsung apabila materi-materi baru dikaitkan pada materi yang lebih inklusif.. dengan demikian materi-materi itu tersusun secara hirarkis sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa.
            Belajar bermakna terjadi bila siswa menghubungkan informasi baru ke dalam struktur pengetahuannya. Apabila informasi baru itu belum ada kaitannya dengan struktur pengetahuan yang dimiliki maka informasi baru itu akan dipelajari dengan cara menghapal. Belajar menghapal ini perlu bila siwa memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah diketahui.

Guru Konstruktivis


Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru memberi tekanan pada penjelasan tentang pengetahuan tersebut dan kacamata siswa sendiri. Duru pada pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitator. Suparno (1997:66) menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut:
1.      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam rancangan, proses dan penelitian
2.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang  merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa
3.      Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa sejalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
            Guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa. Sebab, perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran dan sifat skema siswa.

Rendahnya Mutu Pendidikan Indonesia


Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia pada hakekatnya adalah akumulasi dari penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.. Berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1.    Rendahnya kualitas sarana fisik
            Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2.    Rendahnya kualitas guru
            Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
            Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
            Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3.    Rendahnya kesejahteraan guru
            Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
            Kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4.    Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan
            Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
5.Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
            Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau indtitusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
            Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja
            Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
6.    Mahalnya biaya pendidikan
            Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
            Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
            Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.