Sebagai warga indonesia, tentunya kita seringkali mendengar
berita wacana bahwa UN akan dihapuskan. Namun, sepertinya hal itu hanyalah
wacana belaka karena sepertinya berita yang demikian sudah terdengar
bertahun-tahun lalu tanpa ada bukti nyata. Buktinya hingga saat ini, yang
hampir mendekati tahun 2017, UN tetap saja dilaksanakan di Indonesia. Tentunya
untuk menghapus UN tidaklah mudah karena banyak masalah-masalah lain yang harus
dipertimbangkan mengenai ini. Mereka yang mengusulkan untuk meniadakan UN
pastilah memiliki ‘kacamata’ tersendiri tentang dampak negatifnya bagi generasi
penerus bangsa. Tetapi di sisi lain, jika kita menilik fungsi UN yang
sebenarnya berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu untuk
mengukur pencapaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran secara nasional
dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Dengan demikian UN,
dianggap sebagai hasil capaian akhir dari tiap-tiap siswa untuk melanjutkan ke
jenjang yang lebih . Memang tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa UN memberi
kemudahan dalam mengukur tingkat keberhasilan pendidikan pada setiap wilayah,
namun keberhasilan tersebut menurut penulis hanya berdasarkan pada data kuantitatif yang bisa saja
dibuat-buat, tidak secara kualitatif. Mengapa demikian? Kita dapat melihat
kenyataan yang terjadi sekarang mengenai UN. Banyak kejadian seperti soal UN “bocor”,
siswa membeli kunci jawaban menjelang UN, banyak Guru yang “mengkatrol” nilai,
dan sebagainya. kalau begitu artinya, tingkat keberhasilan pendidikan di
Indonesia masih rendah dan itu memang terbukti. Mental siswa di Indonesia belum
berevolusi. Dengan adanya tuntutan harus lulus UN siswa akhirnya mencari-cari
cara untuk bisa lulus dengan jalan pintas yang akhirnya memunculkan oknum-oknum
tertentu untuk membocorkan soal atau kunci jawaban UN. Pemerintah mungkin telah
berupaya untuk meminimalisir kejadian seperti ini dengan membuat kode soal UN
berbeda-beda, tetapi berdasarkan pengalaman saya selama menjadi siswa, cara ini
dirasa kurang efektif karena hal seperti itu terus saja terjadi. Belum lagi
siswa yang ingin segala sesuatu serba instant, mereka mungkin akan lebih malas
lagi dalam berfikir, selain itu sekolah sebagai tempat untuk memperoleh
pendidikan kadang kala justru mengetahui praktik tersebut terjadi di sekolahnya
namun hanya membiarkannya dengan alasan agar siswa lulus 100% sehingga nama
sekolah tersebut terangkat. Saya rasa yang seperti itu disebut dengan “pembodohan”.
Jika UN dihapus, lalu bagaimana cara lainnya agar tujuan pendidikan
tersampaikan dengan baik? Untuk itu mari kita diskusikan bersama dalam
postingan blog saya selanjutnya :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar